BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Konferensi Tingkat Tinggi Pembangunan Sosial yang telah dilaksanakan di
Kopenhagen 12 Maret 1995 menyentil kita dengan sebuah kosa kata yang seolah
baru: "modal sosial." Jenis modal inilah yang selama ini luput
dari pertimbangan penyelenggara pemerintahan yang umumnya terkesima bahkan
terhanyut dalam ritus ideologisasi atas apa yang mereka percayai sebagai
"pembangunan." Modal sosial tiba-tiba tampil menjadi kata kunci
menanggap tiga agenda pokok konferensi: mengurangi kemiskinan, menciptakan angkatan
kerja yang produktif, dan meningkatkan integrasi sosial.
Menanggap diskursus/situasi yang berlangsung, para penyelenggara pemerintahan,
baik di negara maju maupun berkembang, umumnya masih bersikukuh menerapkan
kebijakan yang berupaya mengendalikan penuh roda ekonomi masyarakat. Ekonomi
lantas cenderung dibaca sebagai "ekonomi-politik," tak ubahnya
seperti penjabaran di era Adam Smith. Jika pun ada pergeseran pandang masalah
kemiskinan, pengangguran dan disintegrasi sosial yang mulai dimengerti sebagai
masalah "ekonomi sosial" pemahamannya baru terealisasikan pada
tataran kebijakan berciri karikatif, padat karya. Namun ternyata hal ini tidak
lagi relevan. Ide pembangunan ekonomi akhirnya luruh dan muncul ide tentang
partisipasi masyarakat dan Modal Sosial yang memberikan tawaran baru terhadap
dunia akademis dan praktisi yang terbukti memberi kontribusi yang sangat besar
terhadap negara.
Di dalam masyarakat kita, modal sosial ini menjadi suatu alternatif pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat. Mengingat sebenarnya masyarakat kita sangatlah
komunal dan mereka mempunyai banyak sekali nilai-nilai yang sebenarnya sangat
mendukung pengembangan dan penguatan modal sosial itu sendiri. Pasalnya modal
sosial memberikan pencerahan tentang makna kepercayaan, kebersamaan, toleransi
dan partisipasi sebagai pilar penting pembangunan masyarakat sekaligus pilar
bagi demokrasi dan good governance (tata pemerintahan yang baik) yang
sedang marak dipromosikan. Tulisan di atas mengingatkan kembali bahwa
adalah penting untuk mengkaji ulang tentang apa modal sosial, apa fungsinya dan
peluang apa yang dapat kita ambil.
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Modal Sosial
Sebagai salah satu elemen yang terkandung dalam masyarakat sipil, modal
sosial menunjuk pada nilai dan norma yang dipercayai dan dijalankan oleh
sebagian besar anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, yang secara
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas hidup individu dan
keberlangsungan komunitas masyarakat. Berikut beberapa definisi tentang
modal sosial:
Pengertian Modal Sosial Menurut Para
Ahli :
Robert Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu nilai mutual trust (kepercayaan)
antara anggota masyarakat dan masyarakat terhadap pemimpinnya.
Modal sosial didefinisikan sebagai institusi sosial yang melibatkan jaringan (networks),
norma-norma (norms), dan kepercayaan sosial (social trust) yang
mendorong pada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan kooperasi) untuk
kepentingan bersama. Hal ini juga mengandung pengertian bahwa diperlukan
adanya suatu social networks (“networks of civic engagement”) - ikatan/jaringan
sosial yang ada dalam masyarakat, dan norma yang mendorong produktivitas
komunitas. Bahkan lebih jauh, Putnam melonggarkan pemaknaan asosiasi
horisontal, tidak hanya yang memberi desireable outcome (hasil
pendapatan yang diharapkan) melainkan juga undesirable outcome
(hasil tambahan).
Pierre
Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai “sumber daya aktual dan
potensial yang dimiliki oleh seseorang berasal dari jaringan sosial yang
terlembagakan serta berlangsung terus menerus dalam bentuk pengakuan dan
perkenalan timbal balik (atau dengan kata lain: keanggotaan dalam kelompok
sosial) yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif”.
Dalam pengertian ini modal sosial menekankan
pentingnya transformasi dari hubungan sosial yang sesaat dan rapuh, seperti
pertetanggaan, pertemanan, atau kekeluargaan, menjadi hubungan yang bersifat
jangka panjang yang diwarnai oleh perasaan kewajiban terhadap orang lain.
Bourdieu (1970) juga
menegaskan tentang modal sosial sebagai sesuatu yang berhubungan satu dengan
yang lain, baik ekonomi, budaya, maupun bentuk-bentuk social capital
(modal sosial) berupa institusi lokal maupun kekayaan Sumber Daya
Alamnya. Pendapatnya menegaskan tentang modal sosial mengacu pada
keuntungan dan kesempatan yang didapatkan seseorang di dalam masyarakat melalui
keanggotaannya dalam entitas sosial tertentu (paguyuban, kelompok arisan,
asosiasi tertentu).
James Coleman
mendefinisikan modal sosial sebagai “sesuatu yang memiliki dua ciri, yaitu
merupakan aspek dari struktur sosial serta memfasilitasi tindakan individu
dalam struktur sosial tersebut”. Dalam pengertian ini, bentuk-bentuk modal
sosial berupa kewajiban dan harapan, potensi informasi, norma dan sanksi yang
efektif, hubungan otoritas, serta organisasi sosial yang bisa digunakan secara
tepat dan melahirkan kontrak sosial.
Sedangkan
dari hasil konferensi yang dilakukan oleh Michigan State University, Amerika
Serikat, tentang modal sosial dapat didefinisikan pengertian modal sosial
sebagai “simpati atau rasa kewajiban yang dimiliki seseorang atau kelompok
terhadap orang lain atau kelompok lain yang mungkin bisa menghasilkan potensi
keuntungan dan tindakan preferensial, dimana potensi dan preferensial itu tidak
bisa muncul dalam hubungan sosial yang bersifat egois”.
Dari
sudut pandang lain, North (1990) dan Olson (1982) menekankan pula
lingkungan sosial politik sebagai modal sosial. Faktor lingkungan berpengaruh
pada peluang bagi norma untuk mengembangkan dan membentuk struktur sosial. Jika
pandangan Putnam dan Coleman hanya menekankan pada asosiasi horisontal dan
vertikal, North & Olson menambahkan peran struktur dan hubungan
institusional yang lebih formal, seperti pemerintah, rejim politik, hukum,
sistem peradilan, serta kebebasan sipil dan politik.
Berbagai pandangan tentang modal sosial
itu bukan sesuatu yang bertentangan. Ada keterkaitan dan saling mengisi sebagai
sebuah alat analisa penampakan modal sosial di masyarakat. Modal sosial bisa
berwujud sebuah mekanisme yang mampu mengolah potensi menjadi sebuah kekuatan
riil guna menunjang pengembangan masyarakat.
2.2.
Sejarah dan Bentuk Modal Sosial
Modal sosial awalnya dipahami
sebagai suatu bentuk di mana masyarakat menaruh kepercayaan terhadap komunitas
dan individu sebagai bagian didalamnya. Mereka membuat aturan kesepakatan
bersama sebagai suatu nilai dalam komunitasnya. Di sini aspirasi masyarakat
mulai terakomodasi, komunitas dan jaringan lokal teradaptasi sebagai suatu
modal pengembangan komunitas dan pemberdayaan masyarakat. Berikut akan
dipaparkan pengalaman-pengalaman modal sosial di empat daerah penelitian;
a.Pengalaman Modal Sosial di
Kalimantan Barat
Adanya adat sebagai kesatuan
masyarakat hukum adat. Dimana masyarakat adat punya hukum adat yang tertulis
dan tidak tertulis maupun kesepakatan adat.Sangsi pada warga adat bagi
masyarakat adat yang melanggar sehingga menimbulkan kepatuhan/social orde.r.
Ini memperlihatkan adanya perintah dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh
masyarakat adat. Jika masyarakat adat tidak memenuhi biasanya akan ada sangsi
untuk ini. Sangsi ini bisa bersifat ringan atau berat.
b.Pengalaman Modal Sosial di NTT
Adanya kesatuan masyarakat hukum,
dimana masyarakat adat punya hukum adat yang tertulis dan tidak tertulis maupun
kesepakatan adat. Misalnya; Di NTT misalnya ada pengaturan, ada daerah
pengembalaan dan ada mamar. Ada aturan tertentu yang mengatur
Misalnya jika sapi masuk tapi pagar lebih rendah maka ada kesepakatan sapi yang
masuk tersebut akan dibunuh dan dibagikan kepada seluruh warga. Di Timor adat
menguasai konsep Euis Pah sebagai penguasa alam semesta. Dalam sistem
ini ada aturan sendiri yang dilakukan oleh adat dan ada sistem pengambilan
keputusan . Misalnya ada sinoman di Bali untuk mewartakan berita atau NTT
dengan kaki ringan. Sangsi pada warga adat bagi masyarakat adat yang melanggar.
Ini memperlihatkan adanya perintah dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masyarakat
adat. Jika masyarakat adat tidak memenuhi biasanya akan ada sangsi untuk ini.
Adanya Kemandirian pengelolaan keamanan yang dilakukan secara internal daerah.
c.Pengalaman Modal Sosial di
Sumatera Barat
Persoalan gerakan Kembali ke Nagari,
perda yang dihasilkan pemda di tingkat propinsi; nagari harus memenuhi syarat
jumlah penduduk dan luas wilayah. Untuk detailnya dikembalikan pada pemerintah
kabupaten.Adanya beberapa institusi baru yang lahir, sebutan baru untuk lembaga
adat yang pernah ada dengan mengadopsi konsep negara modern. Jadi, gerakan
kembali ke adat bukan kembali pada adat yang lama. Adanya kesatuan masyarakat
hukum adat.
d.Pengalaman Modal Sosial di
Sumatera Selatan
Di Sumatera Selatan demokrasi dan
modal sosial itu sesungguhnya pernah ada terutama pada masa berlaku sistem
marga dengan kepemimpinan pasirah. Budaya ini kemudian hancur seiring dengan
diterapkannya UU No.5 Tahun 1979. Kini sebagian praktik demokrasi dan modal
sosial masih ada namun dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan
mereka.
2.3.
Komponen Modal Sosial
Menyimak tentang berbagai pengertian modal sosial yang sudah dikemukakan di
atas, kita bisa mendapatkan pengertian modal sosial yang lebih luas yaitu
berupa jaringan sosial, atau sekelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan
simpati dan kewajiban serta oleh norma pertukaran dan civic engagement.
Jaringan ini bisa dibentuk karena berasal dari daerah yang sama, kesamaan
kepercayaan politik atau agama, hubungan genealogis, dan lain-lain. Akan tetapi
yang terpenting adalah bahwa jaringan sosial tersebut diorganisasikan menjadi
sebuah institusi yang memberikan perlakuan khusus terhadap mereka yang dibentuk
oleh jaringan untuk mendapatkan modal sosial dari jaringan tersebut. Di sini,
dalam level mekanismenya modal sosial dapat mengambil bentuk kerjasama.
Kerjasama sendiri adalah upaya penyesuaian dan koordinasi tingkah laku yang
diperlukan untuk mengatasi konflik ketika tingkah laku seseorang atau kelompok
dianggap menjadi hambatan oleh orang atau kelompok lain, sehingga akhirnya
tingkah laku mereka menjadi cocok satu sama lain. Perlu ditegaskan bahwa ciri
penting modal sosial sebagai sebuah kapital, dibandingkan dengan bentuk kapital
lainnya ,adalah asal usulnya yang bersifat sosial, yaitu relasi sosial itu
dianggap sinergi atau kompetisi dimana kemenangan seseorang hanya dapat dicap
di atas kekalahan orang lain.
Dari hasil penelitian Fisipol UGM,
modal sosial juga berfungsi sebagai alat untuk menyelesaikan konflik yang ada
di dalam masyarakat, seperti diungkapkan sebelumnya. Ia juga memberikan
kontribusi tersendiri bagi terjadinya integrasi sosial. Modal sosial dalam hal
ini bisa berfungsi memelihara adanya integrasi sosial sekaligus mengatasi
konflik dalam masyarakat.
Disintegrasi sosial terjadi karena
potensi konflik sosial yang tidak dikelola secara efektif dan optimal,
sehingga termanifest dengan kekerasa. Sebagai alat untuk mengatasi konflik yang
ada di dalam masyarakat dapat dilihat dari adanya hubungan antara individi atau
kelompok yang ada di dalam masyarakat yang bisa menghasilkan trust,
norma pertukaran serta civic engagement yang berfungsi sebagai perekat
sosial yang mampu mencegah adanya kekerasan. Namun demikian perlu dicatat bahwa
dalam kehidupan yang positif diperlukan adanya perubahan di dalam masyarakat.
Dari modal sosial yang eksklusif dalam suatu kelompok menjadi modal sosial yang
inklusif yang merupakan esensi penting dalam sebuah masyarakat yang demokratis.
2.4.
Jenis dan Type Modal Sosial
1.
Social Bounding
Nilai, Kultur, Persepsi dan Tradisi atau adat-istiadat (custom)
Pengertian social bounding adalah, tipe
modal sosial denga karakteristik adanya ikatan yang kuat (adanya perekat
sosial) dalam sustu sistem kemasyarakatan. Misalnya, kebanyakan anggota keluarga
mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluaraga yang lain. Yang mungkin masih
berada dalam satu etnis. Disini masih berlaku adanya sistem kekerabatan dengan
sistem klen. Di banayk daerah Klen masih berlaku.
Pengertian Klen disini sangatlah berbeda maknanya dengan leneage (kelompok
kerabat unilateral yang masih bisa ditelususri hubungannya saja. Atau suku /stam
(kesatuan tertinggi yang mempersatukan kelompok kerabat). Klen merupakan
kelompok kerabat tradisional, unilateral dan eksogam. Disebut Eksogam
karena perkawinan dalam klan tidak dibenarkan. Unilateral
karena garis keturunan diperhitungkan mulai garis patrilineal saja atau
matrilineal saja. Tradisional karena klen juga meliputi warga atau
kerabat yang tidak bisa lagi ditelusuri hubungannya.
Hubungan kekerabatan ini bisa
menyebabkan adanya rasa empati/kebersamaan. Bisa juga menwujudkan rasa simpati,
rasa berkewajiban, rasa percaya, resiprositas, pengakuan timbal balik nilai
kebudayaan yg mereka percaya. Rule of law/aturan main merupakan aturan
atau kesepakatan bersama dalam masyarakat, bentuk aturan ini bisa formal dengan
sanksi yang jelas seperti aturan Undang-Undang. Namun ada juga sangsi non
formal yang akan diberikan masyarakat kepada anggota masyarakatnya berupa
pengucilan, rasa tidak hormat bahkan dianggap tidak ada dalam suatu lingkungan
komunitasnya. Ini menimbulkan ketakutan dari setiap anggota masyarakat yang
tidak melaksanakan bagian dari tanggung jawabnya. Hal ini berakibat akan adanya
social order/keteraturan dalam masyarakat .
Dalam kehidupan sehari-hari,
norma-norma itu tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Yang pelu diingat bahwa
modal sosial ada yang memberikan pengaruh yang baik dan ada yang memberikan
pengaruh yang kurang baik.
Tradisi atau adat-istiadat (custom)
yang juga masih tertanam kuat dalam kehidupan masyarakat desa. Adat-istiadat (custom)
merupakan tata kelakuan yang kekal serta memiliki integrasi yang kuat dengan
pola-pola perilaku masyarakat, yang mempunyai kekuatan untuk mengikat dengan
beban sanksi bagi pelanggarnya. Hal ini kembali berkait pada karakteristik
sosio-psikologis masyarakat desa yang masih meyakini suatu kepercayaan tertentu
secara homogen.
2.Social
Bridging, bisa berupa Institusi maupun Mekanisme
Social Bridging (jembatan sosial) merupakan suatu ikatan sosial
yang timbul sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompokknya. Ia
bisa muncul karena adanya berbagai macam kelemahan yang ada disekitarnya
sehingga mereka memutuskan untuk membangaun suatu kekuatan dari kelemahan yang
ada. Stephen Aldidgre menggambarkannya sebagai “pelumas sosial”, yaitu pelancar
dari roda-roda penghambat jalannya modal sosial dalam sebuah komunitas. Wilayah
kerjanya lebih luas dari pada social bounding. Dia bisa bekerja lintas
kelompok etnis, maupun kelompok kepentingan. Misalnya “Asosasi Masyarakat Adat
Indonesa (kelompok ini bisa beranggotakan seluruh masyarakat adat yang ada di
Indonesia, baik di Sumatra, Kalimantan sampai dengan Papua) Keanggotaannya
lebih luas dan tidak hanya berbasis pada kelompok tertentu.
Social Bridging bisa juga dilihat dengan adanya keterlibatan umum
sebagai warga negara (civic engagement), asosiasi, dan jaringan.
Tujuannya adalah mengembangkan potensi yang ada dalam masyarakat agar
masyarakat mampu menggali dan memaksimalkan kekuatan yang mereka miliki baik
SDM (Sumber Daya Manusia) dan SDA (Sumber Daya Alam) dapat dicapai.
Ketercapaiannya melalui interaksi
sosial sebagai modal utama. Dengan demikian institusi sosial tetap eksis
sebagai tempat artikulasi kepentingan bagi masyarakat. Misalnya dengan adanya
lembaga arisan, yang sering dikatagorikan sebagai rotating saving and credit
associations. Merupakan asosiasi yang menyediakan fasilitas menabung secara
periodik dan menyediakan fasilitas kredit bagi anggota-anggotanya.
Interaksi yang terjalin bisa berwujud kerjasama
atau sinergi antar kelompok, yaitu upaya penyesuaian dan koordinasi tingkah
laku yang diperlukan untuk mengatasi konflik ketika tingkah laku seseorang atau
kelompok dianggap menjadi hambatan oleh orang atau kelompok lain, sehingga
akhirnya tingkah laku mereka menjadi cocok satu sama lain.
Kapasitas modal sosial termanifestasikan dalam ketiga bentuk modal sosial
tersebut (nilai, institusi, dan mekanisme) yang dapat memfasilitasi dan menjadi
arena dalam hubungan antar warga dan antar kelompok berasal dari latar belakang
berbeda, baik dari sudut etnis, agama, maupun tingkatan sosial ekonomi.
Ketidakmampuan untuk membangun nilai, institusi, dan mekanisme bersifat lintas
kelompok akan membuat masyarakat yang bersangkutan tidak mampu mengembangkan
modal sosial untuk membangun integrasi sosial.
3. Social
Linking (hubungan/jaringan sosial)
Merupakan hubungan sosial yang dikarakteristikkan dengan adanya hubungna di
antara beberapa level dari kekuatan sosial maupun status sosial yang ada dalam
masyarakat. Misalnya: Hubungan antara elite politik dengan masyrakat umum.
(Dalam hal ini elite politik yang dipandang khalayak sebagai public figure/tokoh,
dan mempunyai status sosial darai pada masyarakat kebanyakan. Namun mereka
sama-sama mempunya lkepentingan untuk mengadakan hubungan. Elite politik
membutuhkan massa untuk mendapatkan susra dan mendukungnya. Sementara masyrakat
berusaha mendapatkan orang yang dipercaya bisa menjadikan penyalur aspirasi dan
merek percaya sebagai wakilnya.
Pada dasarnya ketiga tipe modal sosial ini dapat bekerja tergantung dari
keadaannya. Ia dapat bekerja dalam kelemahan maupun kelebihan dalam suatu
masyarakat. Ia dapat digunakan dan dijadikan pendukung sekaligus penghambat
dalam ikatan sosial tergantung bagaiman individu dan masyarakat
memaknainya
2.5.
Wujud Nyata Dari Modal Sosial
Modal
sosial terkadang merupakan sesuatu yang sangat tidak riil dan tampaknya sangat
susah untuk sekedar dibayangkan. “Mahluk apakah social capital itu?”
Berwujud apakah dia sehingga banyak membuat orang terinspirasi oleh pentingnya
kehadiran modal sosial sebagai pendukung pemberdayaan masyarakat, pendukung
demokrasi termasuk sebagai salah satu pilar penting dalam pengembangan good
governance yang dewasa ini banyak diperbincangkan masyarakat kita.
1. Hubungan sosial
Merupakan suatu bentuk komunikasi
bersama lewat hidup berdampingan sebagai interaksi antar individu. Ini
diperlukan sebab interaksi antar individu membuka kemungkinan campur tangan dan
kepedulian individu terhadap individu yang lain. Bentuk ini mempunyai nilai
positif karena masyarakat mempunyai keadilan sosial di lingkungannnya.
2. Adat dan nilai budaya lokal
Ada banyak adat dan kultur yang masih
terpelihara erat dalam lingkungan kita, budaya tersebut kita akui tidak semua
bersifat demokratis, ada juga budaya-budaya dalam masyarakat yang terkadang
sangat feodal bahkan sangat tidak demokratis. Namun dalam perjalanan sejarah
masyarakat kita, banyak sekali nilai dan budaya lokal yang bisa kita junjung
tinggi sebagai suatu modal yang menjunjung tinggi kebersamaan, kerjasama dan
hubungan sosial dalam masyarakat.
3. Toleransi
Toleransi atau menghargai pendapat
orang lain merupakan salah satu kewajiban moral yang harus dilakukan oleh
setiap orang ketika ia berada atau hidup bersama orang lain. Sikap ini juga
yang pada akhirnya dijadikan sebagai salah satu prinsip demokrasi. Toleransi
bukan berati tidak boleh berbeda, toleransi juga bukan berarti diam tidak
berpendapat. Namun toleransi bermakna sebagai penghargaan terhadap orang lain,
memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berbicara serta menyadari bahwa
pada dasarnya setiap orang mempunyai kepentingan yang berbeda.
4. Kesediaan untuk mendengar
Dalam belajar berdemokrasi kita sangat
tidak asing dengan upaya seperti menghormati pendapat orang lain, toleransi dan
lain-lain. Namun ada satu hal yang hampir terlupakan yaitu tentang “kesediaan
mendengar pendapat orang lain”. Begitu juga dalam bernegara, kearifan mendengar
suara rakyat merupakan salah satu bentuk toleransi dan penghargaan negara
terhadap masyarakat. Apa yang berkembang di dalam masyarakat sebagai suara
rakyat haruslah ditampung, disimak dan dipahami untuk mengkaji ulang
kebijakan–kebijakannya. Kekuasaan yang tidak mampu lagi mendengar suara
anggotanya adalah kekuasaan yang tidak lagi inspiratif, dan tidak menjalankan
kedaulatan rakyat. Kekuasaan seperti ini haruslah direformasi.
5. Kejujuran
Merupakan salah satu hal pokok dari
suatu keterbukaan atau transparansi. Dalam masyarakat kita hal ini sudah
ada, dan ini sangat mendukung perkembangan masyarakat ke arah yang lebih
demokratis karena sistem sosial seperti ini akan mensuramkan titik-titik korupsi
dan manipulasi di kalangan masyarakat adat sendiri.
6. Kearifan lokal dan pengetahuan
lokal
Merupakan pengetahuan yang berkembang
dalam masyarakat sebagai pendukung nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Penghargaan terhadap nilai lokal ini memunculkan kebersamaan antar anggota
masyarakat yang akan diturunkan kepada generasi berikutnya.
7. Jaringan Sosial dan Kepemimpinan
Sosial
Jaringan sosial terbentuk berdasarkan
kepentingan atau ketertarikan individu secara prinsip atau pemikiran. Sementara
itu kepemimpinan sosial terbentuk dari kesamaan visi, hubungan personal atau
keagamaan. Seluruh kepemimpinan sosial muncul dari proses demokrasi. Dalam
demokrasi yang dominan adalah adu konsep rasional dan gagasan terhadap suatu
kemajuan.
8. Kepercayaan
Merupakan hubungan sosial yang dibangun atas dasar
rasa percaya dan rasa memiliki bersama
9.Kebersamaan dan Kesetiaan
Perasaan ikut memiliki dan perasaan menjadi bagian
dari sebuah komunitas.
10. Tanggung jawab sosial
Merupakan rasa empati masyarakat
terhadap perkembangan lingkungan masyarakat dan berusaha untuk selalu
meningkatkan ke arah kemajuan.
11. Partisipasi masyarakat
Kesadaran dalam diri seseorang untuk ikut terlibat
dalam berbagai hal yang berkaitan dengan diri dan lingkungannya.
12. Kemandirian
Keikutsertaan
masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan yang ada dalam masyarakat dan
keterlibatan mereka dalam institusi yang ada dilingkungannya sebagai rasa
empati dan rasa kebersamaan yang mereka miliki bersama.
2.6. Tujuan
Utama Dari Penguatan Modal Sosial
1.Penguatan otonomi, modal
sosial menjadi kekuatan bagi masyarakat supaya tidak tergantung dan dapat
mengelola kepentingannya sendiri.
2.Penguatan dalam hal kerjasama, modal sosial
membantu masyarakat mampu mengelola resiko sosial. Karena setiap orang adalah
rentan terhadap resiko, modal sosial dapat meningkatkan kapasitas masyarakat
untuk mencegah atau merespon goncangan.
3.Menemukan identitas asli dari
masyarakat adat sendiri, dengan segala kekurangannya modal sosial dapat
membangun kesadaran kelompok sehingga orang merasa menjadi bagian dari
masyarakatnya
4Toleransi, modal sosial tidak
akan membuat masyarakat kaku dalam menghadapi dinamika, bahkan menjadikannya
semakin lentur. Modal sosial akan mengisi dan memberi arah dinamika, modal
sosial juga akan diperkaya oleh dinamika jaman.
5.Menguatkan jaringan sosial, dengan modal sosial elemen-elemen masyarakat
saling membantu dan mengelola resiko, yang didasarkan pada hubungan sosial
informal, dan yang lain didasarkan pada organisasi formal ditingkat masyarakat
maupun negara.
6.Membangun ketrampilan
berdemokrasi, dari aspek politis,
modal sosial bermanfaat untuk membangun dan mengembangkan budaya demokratis,
karena dalam proses pembangunan berprinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Dalam konteks yang demikian egaliter, maka diharapkan tidak ada
kelompok yang mendominasi, baik dalam perencanaan, pengambilan keputusan, dan
pelaksanaan.
7.Self
Governing Community, Pengelolaan/Pemerintahan yang diatur dan
disepakati oleh komunitas adat sendiri, dengan memanfaatkan nilai-nilai lokal
yang ada di dalamnya.
8.Menerima pluralisme, modal sosial dapat menjadi lem perekat masyarakat
yang dimaknai sebagai koherensi internal sosial-budaya dalam masyarakat.
2.7.
Fungsi Dan Peran Modal Sosial
Dari uraian di atas dapat disebutkan beberapa
fungsi dan peran modal sosial sebagai berikut;
1.
Membentuk solidaritas sosial masyarakat dengan pilar kesukarelaan.
2.
Membangun
partisipasi masyarakat .
3.
Penyeimbang
hubungan sosial dalam masyarakat .
4.
Sebagai Pilar
demokrasi.
5.
Agar
masyarakat mempunyai bargaining position (posisi tawar) dengan
pemerintah.
6.
Membangkitkan keswadayaan dan keswasembadaan ekonomi.
7.
Sebagai
bagian dari mekanisme manajemen konflik.
8.
Menyelesaikan
konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat.
9.
Memelihara
dan membangun integrasi sosial dalam masyarakat yang rawan konflik.
10.
Memulihkan
masyarakat akibat konflik, yaitu guna menciptakan dan memfasilitasi proses
rekonsiliasi dalam masyarakat pasca konflik.
11.
Mencegah disintegrasi
sosial yang mungkin lahir karena potensi konflik sosial tidak dikelola secara
optimal sehingga meletus menjadi konflik kekerasan.Modal sosial yang berasal
dari hubungan antar individu dan kelompok bisa menghasilkan trust, norma
pertukaran, serta civicengagement sehingga dapat berfungsi menjadi
perekat sosial yang mampu mencegah konflik kekerasan.
2.8.IMPLIKASI MODAL SOSIAL TERHADAP KEBIJAKAN
Modal sosial secara langsung
maupun tidak langsung memberikan kontribusi dan saling mendukung antara
masyarakat dengan pengambil kebijakan ada tiga level:
1.Individu
Pada tingkat ini modal sosial memberikan
dukungan sebagai:
1.
Alat
pendekatan antara pengambil kebijakan dengan masyarakat
2.
Aspirasi
masyarakat
3.
Dukungan dan
pendampingan
2.Komunitas
1.
Promosi
pengembangan institusi lokal yang ada di daerah
2.
Jaringan
kerjasama antar komunitas
3.
Pengembangan
informasi bersama komunitas
3.Nasional
1.
Wujud
pengembangan kebijakan yang partisipastif
2.
Pengembangan
jaringan pelayanan masyarakat, dll.
BAB III
KESIMPULAN
Seperti yang telah diungkapkan bahwa
dalam realitas modal sosial merupakan spirit atau kekuatan terwujudnya
demokrasi itu sendiri. Untuk itu puing-puing retak ini sudah selayaknya kita
kaji, dan bangun kembali. Upaya membangun modal sosial ini dapat dimulai dari
masyarakat sipil, dimana kelompok sukarelawan, gerakan dan warganegara mencoba
mengartikulasikan nilai-nilai solidaritas serta berani memperjuangkan
kepentingannya. Langkah untuk mewujudkan optimisme di atas setidaknya ada 4 hal
yang dapat kita lakukan.
Pertama, Meletakkan masyarakat sebagai motor pembangunan dengan modal
yang mereka miliki (kepercayaan, kebersamaan, kepemimpinan, jaringan sosial,
dll). Tujuannya adalah untuk membuka partisipasi dan keiikutsertaan masyarakat
secara langsung dalam pembagunan.
Kedua, Penggalian kembali potensi dan sumber daya yang ada di desa, baik
yang belum maksimal maupun potensi yang belum tergali sama sekali. Penggalian
ini meliputi 2 hal yaitu SDA dan SDM.
Ketiga, melibatkan masyarakat secara langsung dalam perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi terhadap pembanguan yang ada di sekitar mereka. Ini
sangat diperlukan karena masyarakat sebagai sumber informasi sekaligus
pelaksana pembangunan itu sendiri.
Keempat, adanya interaksi sosial yang membawa mekanisme ekonomi
pembangunan dalam masyarakat. Karena itu tidaklah mengherankan jika modal
sosial seringkali diidentikkan dengan pembangunan ekonomi. Walaupun sebenarnya
pembangunan ekonomi hanya salah satu bagian dari modal sosial.
Kelima, menghidupkan dan membangun kembali hubungan sosial di desa.
Dengan kembalinya hubungan sosial yang ada di desa akan membawa dampak vertikal
bagi anggotanya, yaitu hubungan yang bersifat hierarki dan kekuasaan yang
mutlak bagi anggota. Michael Colleman menyepakati hal ini sebagai salah satu
dampak positif dari pemberdayaan masyarakat. Dampak negatifnya adalah lemahnya
struktur organisasi yang ada didalamnya. Sehingga permasalahannya adalah
bagaimana membuat masyarakat menjadi berdaya?
Keenam, membangun jaringan bersama antara masyarakat sebagai tempat
berdiskusi, tukar pengalaman dan pengetahuan. Ini dapat dilakukan pada tingkat
lokal, nasional maupun internasional.
Antisipasi ke depan, atau dengan kata lain untuk mengatasi masalah
ketidakberdayaan masyarakat ditawarkan pendekatan melalui struktur atau lembaga
mediasi. Tujuannya adalah agar tercipta kembali demokrasi sosial di desa.
Pendekatan ini tampaknya lebih memadai ketimbang harus memulainya di tingkat
elite, karena institusi lokal semacam ini lebih dikenal dan lebih memasyarakat
serta dapat diterima oleh semua lapisan. Dan yang terpenting posisi memulai di
tingkat lokal adalah masyarakatnya yang belum terkontaminasi lebih jauh oleh
kepentingan elite. Sedangkan jika harus memulai di tingkat elite akan
membutuhkan waktu yang panjang untuk membuat masyarakat kembali percaya.
Jika ditinjau secara administratif, pembangunan
wacana demokrasi melalui revitalisasi modal sosial yang dimulai di tingkat desa
karena beberapa alasan;
·
Pertama, desa sebagai asosiasi institusi lokal yang paling banyak
ditemukan, seperti arisan, kelompok Shalawatan, Diba, lumbung paceklik desa,
selapanan dan lain-lain.
·
Kedua, lingkup desa yang tidak begitu luas, memudahkan untuk mengontrol
jaringan yang dibangun pada level dibawahnya, seperti RW, RT, dan dusun.
·
Ketiga, memfungsikan komunitas lokal, BPD ataupun lembaga lain yang
berfungsi sebagai tempat artikulasi kepentingan massa. Diharapkan
nantinya kesepakatan-kesepakatan yang disepakati oleh institusi lokal dapat
langsung ditampung melalui lembaga-lembaga sosial ataupun BPD dan
dikomunikasikan dengan pembuat kebijakan. Dengan demikian identitas personal
desa dapat kembali teraktualisasi dan dapat dicapai kesepakatan yang
berimbang dengan membawa kepentingan masyarakat.
·
Keempat, desa sebagai basis intermediary (penghubung antara
masyarakat dengan pemerintah) untuk mengembangkan potensi lokal serta
mempengaruhi pembuat kebijakan diatasnya.
Untuk terwujudnya idealisme di atas tentunya
sangat diperlukan kearifan dari pemerintah. Kearifan ini dapat terwujud dengan
keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan rakyat, dan pembenahan untuk
merevitalisasi kembali modal sosial dengan dukungan pemerintah.
DAFTAR
PUSTAKA
Fisipol UGM, 2001. Merajut
Modal Sosial Untuk Perdamaian dan Integrasi Sosial.
Fisipol UGM. 2001. Penyusunan
Konsep Perumusan Pengembangan Kebijakan Pelestarian Nilai-Nilai Kemasyarakatan (Social Capital) Untuk Integrasi
Sosial.
Hudayana, Bambang, Laporan Need Assesment Pemberdayaan
Masyarakat Adat di Indonesia, IRE Yogyakarta, 2002.
Wilk, Richard.
1996. Economies and Cultures.
Colorado: Westview Press.