Ketidakpastian harga Bahan bakar Minyak (BBM) terus dorong Ekspektasi Inflasi, untuk mencegah ekspektasi inflasi tersebut Pemerintah seharusnya memastikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tidak akan naik sampai dengan akhir tahun karena memiliki cadangan fiskal yang cukup untuk menutup pembengkakan subsidi.
Namun hal itu perlu dikombinasikan dengan program pembatasan dan penghematan pemakaian BBM guna menahan laju pembengkakan konsumsi Bahan Bakar Minyak Bersubsidi.Berdasarkan Pasal 7 ayat 6a Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara perubahan (APBN-P) 2012. Pemerintah hanya memiliki Kewenangan menaikan Harga BBM bersubsidi manakala rata-rata harga jual minyak mentah Indonesia ICP selama 6 Bulan terakhir diatas 15% dari asumsi.
Tetapi karena waktunya tidak pasti karena kondisi yang harus dicapai, itu akan membuat pasar selalu membuat pasar punya ekspektasi akan ada kenaikan Harga BBM dan itu akan membuat Inflasi. Rentang antara tingginya ICP dengan harga BBM bersubsidi yang tetap Harga Rp 4.500 per liter karena pemerintah tidak memiliki ruang menyesuaikan Harga secara langsung membuat subsidi BBM dan Listrik akan Bengkak. subsidi BBM dianggarkan Rp 137 triliun untuk Volume 40 juta kiloliter.
dan pada kaondisi seperti ini Pemerintah sebaiknya harus membuat langkah Tegas dan cepat untuk mengumumkan harga BBM bersubsidi tidak akan naik sampai dengan akhir tahun, dan Pilihan itu merupakan yang terbaik untuk saat ini.
Program Penghematan, naiknya penerimaaan Negara akibat ICP, serta adanya cadangan Fiskal yang memadai jika dikombinasikan dengan baik akan mampu menutupi jebolnya Kuota. dan ketidakpastian pada pasar itu sangatlah tidak baik terhadap kondisi perekonomian dan stabilitas harga pada saat ini.
Senin, 30 April 2012
Minggu, 08 April 2012
PENYERAPAN APBD DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
PENYERAPAN APBD DAN
PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH
Oleh : Yopi Eka Anroni, SE
1. Pendahuluan
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa APBD memiliki
peranan yang cukup penting untuk mempercepat gerak roda pembangunan di setiap
daerah, terutama dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi daerah. Untuk
mewujudkan hal itu, Pemerintah Pusat telah mengalokasikan dana besar keseluruh
Pemda diseluruh wilayah Indonesia. Sebagai buktinya semenjak diberlakukannya
desentralisasi pemerintahan delapan tahun yang lalu, maka saat ini hampir
sepertiga dari dana APBN telah dialokasikan ke daerah. Tujuannya tidak lain adalah
dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan sekaligus mendorong pertumbuhan
ekonomi di seluruh daerah. Adanya komitmen pemerintah pusat untuk mendorong
percepatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah tersebut melalui
kebijakan desenralisasi fiskal perlu mendapat acungan jempol dan appresiasi.
Sebab meskipun Pemerintah Pusat mendapat tantangan dan kritikan dari beberapa
daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang besar, namun pemerintah tetap kukuh
dan disiplin untuk memenuhi kebutuhan fiskal bagi daerah yang memiliki
kapasitas kecil (Agung Pambudhi, 2008). Fakta
yang demikian juga diikuti dengan
semakin meningkatnya dana APBN yang dialokasikan ke seluruh daerah dari tahun
ketahun baik berupa Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK).
Komitmen dan disiplin Pemerintah Pusat yang tinggi
tersebut diungkapkan langsung oleh Menteri Keuangan dan Presiden SBY. Dalam hal
ini, Agus Martowardoyo sebagai Menkeu pada berbagai event sering menyatakan bahwa Kementrian Keuangan
bersama dengan Kementrian Dalam Negeri akan memantau dan mengawasi penggunaan dana
anggaran belanja daerah (APBD) sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi
daerah dan kesejahteraan masyarakat. Pemantauan tersebut dilakukan untuk
memastikan bahwa APBD tersebut benar-benar digunakan untuk mendukung
pengembangan sektor riil dan bukan diinvestasikan ke instrumen keuangan
lainnya. Presiden SBY juga sering mengingatkan agar Pemda tidak menyimpan dana secara berlebihan di
bank maupun dalam bentuk dana Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sehingga
diharapkan dapat menjadi stimulan bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Malahan
Presiden SBY pernah menyorot dan mengingatkan Pemda di depan sidang paripurna
Dewan Perwakilan daerah (DPD) tahun 2007, ”Sesungguhnya
keadaan ini seperti ironis, dimana ditengah-tengah keperluan modal finansial
yang besar untuk kepentingan berbagai usaha sektor riil, terdapat dana yang
parkir di bank atau menganggur dalam jumlah yang besar”. Dalam sidang
Paripurna DPD 2009, Presiden kembali mengingatkan daerah, jangan sampai
terlambatnya penetapan Perda APBD tersebut karena kepentingan politik elit di
daerah. Presiden menegaskan ”jangan sampai kepentingan masyarakat tersandera
oleh kepentingan politik elit diantara pemimpin-pemimpin daerah. Karena itu,
diperlukan sinergi yang baik antara eksekutif dan legislatif dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Hal ini dimaksudkan tidak lain agar dana yang menganggur
tersebut dapat digunakan untuk mempercepat proses pembangunan disetiap daerah
di seluruh Indonesia melalui peningkatan pelayanan publik. Namun dalam
pelaksanaannnya ternyata secara umum masih ada yang disalahtafsirkan oleh Pemda
baik oleh eksekutif maupun pihak legislatif. Meskipun Pemda sejak tahun 2003
sudah mencoba menerapkan sistim anggaran berbasis kinerja (Performance Base Budgeting), namun dalam pelaksanaannya ternyata
penyerapan anggaran masih saja mengalami berbagai macam permasalahan.
2. APBD dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah.
Suatu hal yang
tidak perlu diragukan lagi bahwa APBD memiliki peranan yang cukup penting untuk
mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi daerah. Akan tetapi dalam
kenyataannya, penyerapan
APBD diberbagai daerah di Indonesia dalam dua tahun terakhir ini ternyata boleh
dikatakan masih lambat sekali. Pengalaman beberapa daerah pada tahun 2008
misalnya, masih ada daerah yang baru mampu menyerap ABPDnya sampai dengan bulan
Juli tahun 2008 sebesar 19 % saja, dan ada beberapa daerah yang sudah mencapai 40-an %. Tetapi sesuai
dengan disiplin anggaran maka seharusnya sampai dengan bulan Juli Tahun 2008
masing-masing daerah sudah harus mampu menyerap APBD sebesar lebih kurang 50 %.
Namun kenyataan menunjukkan lain, dimana secara rata-rata di seluruh daerah di
Indonesia daya serap APBD tersebut ternyata masih sangat rendah, dimana selama
6 bulan pertama secara rata-rata daya
serap APBD baru mencapai 30 % saja, meskipun ketok palu pengesahan anggarannya
sudah relatif lebih cepat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Sementara itu
pada pada tahun 2009, daerah yang ketok palu APBD nya juga cukup cepat ternyata
sampai dengan bulan juli ini penyerapan APBDnya juga masih relatif rendah. Daerah
DKI sebagai daerah ibu kota Republik ini tahun 2009 ini baru mampu menyerap
APBDnya sebesar 30% saja. Kenyataan yang demikian memberikan gambaran bahwa
jangankan mampu untuk meningkatkan kinerjanya, ternyata aparatur Pemda
membelanjakan anggaran saja sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku
masih jauh dari yang diharapkan. Kalau realitanya sudah begitu, sudah tentu sulit
juga mengharapkan APBD memiliki peran yang penting untuk meningkatkan pelayanan
Publik dan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Kenyataan yang
demikian juga didukung oleh hasil studi yang dilakukan oleh Hamid Padu dkk dari
Tim Asistensi Mentri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiscal (2008), dimana
penyerapan APBD selain tidak optimal juga banyak yang tidak sesuai dengan
perencanaan.
Terlambatnya
penyerapan dana APBD tersebut sudah tentu tidak terlepas dari beberapa faktor
penyebabnya yang antara lain : Pertama, masih lambatnya
pihak eksekutif maupun legislatif menyusun
perencanaan dan penganggaran, sehingga
ketuk palu pengesahan Perda APBD juga menjadi terlambat. Terjadinya
keterlambatan pengesahan Perda APBD telah sering terjadi dan malahan
berulang-ulang pada beberapa daerah tertentu. Meskipun sudah diberikan warning oleh Pemerintah Pusat (Depkeu)
namun masih saja ada daerah yang mengalami keterlambatan dalam ketok palu
APBDnya. Kondisi yang demikian sudah tentu membawa pengaruh pula terhadap
keterlambatan penyerapan dan realisasinya. Pada hal Presiden SBY sudah
mengingatkan yakni ”saya sungguh tidak ingin terjadi hambatan dalam perencanaan
dan penggunaan dana APBD agar semua sasaran pembangunan dapat tercapai”. Karena
itu diperlukan sinergi yang baik antara eksekutif dan legislatif dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Merupakan
hal yang ironis sekali kalau masih saja ada penyerapan dana APBD yang terlambat,
sebab perhatian Pemerintah Pusat terhadap Pemda dalam penggunaan dan penyerapan
dana APBD sudah tinggi sekali. Kedua, munculnya rasa ketakutan bagi
aparatur Pemda untuk menggunakan dana tersebut secara cepat. Hal ini barangkali
wajar saja terjadi, sebab disamping pemahaman SDM pemegang program dan kegiatan
yang masih rendah, sedangkan resiko yang harus ditanggung oleh pemegang program
dan kegiatan tersebut adalah besar yaitu “penjara”. Karena itu meskipun sudah ada penegasan oleh Presiden
SBY bahwa ketakutan menggunakan dana APBD seharusnya tidak perlu terjadi, sebab
Badan Pengawas Keuangan dan BPKP siap untuk memberikan pendampingan, namun
dalam kenyataannya ketakutan tersebut
masih saja ada. Ketiga, Seringkalinya terjadi perubahan peraturan tentang
pengelolaan keuangan daerah mulai dari Kepmendagri 29 Tahun 2003, Permendagri
No.59 Tahun 2007 dan Permendagri No.32 Tahun 2008.
Keempat, relatif terbatasnya waktu yang tersedia oleh eksekutif untuk
memberikan pelayanan kepada publik, karena waktu eksekutif boleh dikatakan habis
untuk menyusun perencanaan dan penganggaran serta mempersiapkan 5 (lima) jenis laporan
pertanggung jawaban APBD. Kondisi yang demikian sudah tentu membawa pengaruh
yang tidak optimal terhadap pelayanan publik, sehingga pada akhirnya juga
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Terjadinya
beberapa permasalahan dalam penyerapan dan pelaksanaan APBD tersebut jelas
tidak terlepas dari lemahnya kemampuan teknis sumber daya manusia (SDM) yang
dimiliki oleh daerah baik kualitas SDM Pemda (Eksekutif dan Legislatif) maupun
kualitas SDM Publik. Sangatlah ironis sekali tuntutan yang cepat terhadap
penyerapan APBD dan perannya yang besar terhadap pelayanan publik dan
pertumbuhan ekonomi bila perhatian terhadap pengembangan SDM aparatur Pemda
masih relatif rendah terutama dalam pengelolaan keuangan daerah dimasa
mendatang. Disamping itu aturan-aturan yang terlalu cepat berubah serta
banyaknya jenis laporan yang harus
disiapkan oleh Pemda harus menjadi pemikiran bagi pihak yang berkompeten
hendaknya.
Dengan demikian,
maka penguatan Sumber Daya Manusia daerah dan partisipasi publik melalui kerjasama
dan kemitraan dengan berbagai macam lembaga (Perguruan Tinggi, LSM dan forum
warga) yang memiliki kompetensi untuk melakukan pengawasan terhadap penyerapan
dan pelaksanaan APBD pada setiap tahapan dalam siklus anggaran merupakan satu
alternatif yang dapat ditempuh untuk meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah dimasa mendatang.
Langganan:
Postingan (Atom)