Laman

Minggu, 27 Mei 2012

Rival Politik Sang Incumbent Menuju DKI 1...??


Pilkada DKI Jakarta Sudah semakin dekat, dan persaingan antar kandidat pun sudah semakin memanas ditengah-tengah Publik dan bila dicermati Jalan menuju kursi Gubernur DKI Jakarta dalam Pemilukada yang digelar 11 Juli mendatang bisa diibaratkan menjadi ajang persaingan pasar bebas bagi Para calon Gubernur dan Wakil gubernur dan membuat peta persaingan menuju Gubernur DKI semakin menarik untuk ditakar.

 Dan jika kita melihat pada rujukan hasil survei Maka Takaran dan eskalasi serta Undian Nomor urut Pasangan Calon Gubernur DKI Jakarta Oleh KPUD di Hotel Senayan Jakarta Sabtu 12 Mei 2012 dengan Nomor urut  Satu Jatuh kepada Pasangan Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli, Hendardji Soepandji - Ahmad Riza Patria nomor urut dua, Joko Widodo – Nacrhowi Ramli Nomor urut tiga, Hidayat Nur Wahid - Didiek J Rachbini nomor urut empat, Faisal Basri - Biem Benjamin nomor urut lima, serta Alex Noerdin – Nono sampono Nomor urut enam. Dan melihat Pengundian Nomor Urut tersebut Maka Pasangan Incumbent Fauzi Bowo Masih Selangkah di depan. Kenapa demikian..?

Masyarakat DKI Jakarta tentu sudah Sangat Mengenal Fauzi Bowo, Karena selain sebagai Gubernur Incumbent yang Masih menjabat, Hasil survey dari beberapa lembaga survey juga mengunggulkan pasangan Fauzi Bowo - Nahrowi Ramli sebagai Pasangan Yang Populer dan disukai Masyarakat Jakarta Pada umumnya.Bahkan ada lembaga survey yang memprediksi Pasangan Ini Bisa Melaju dengan satu Putaran Pada  Pesta demokrasi Warga Jakarta Bulan Juli 2012 ini.

Klaim satu putaran dari hasil survey tersebut, mungkin terlihat agak berlebihan. Sebab, dengan jumlah pasangan calon Gubernur yang lebih dari tiga, sulit rasanya Fauzi-Nacrowi, akan mampu mendulang suara mayoritas pemilih yang berjumlah kurang lebih enam juta jiwa. Belum lagi, ketangguhan dan pengalaman lawan-lawan politik Foke-Nara yang berbeda dengan Kontestasi Pemilukada 2007 yang lalu.

Adalah Hal yang sangat wajar dan Bisa diterima Publik Apabila Pasangan Ini diunggulkan Oleh beberapa Lembaga survey dan ini Artinya kekuasaan jakarta Masih dibawah Kendali Sang Incumbent karena jika Melihat Pasangan gubernur Lain adalah pendatang baru dalam perpolitikan Jakarta secara terbatas. Sehingga keterkenalan, keterpilihan, pengalaman, serta apa yang telah dibuat mereka belum sepenuhnya diketahui masyarakat Jakarta secara merata.

Apabila peluang memenangkan Pertarungan Pilkada DKI Jakarta lebih berat pada Fauzi Bowo -Nahrowi Ramli maka siapakah Rival politik yang harus diwaspadai oleh Fauzi Bowo - Nahrowi Ramli sebagai the real competitor ...?

Menurut Penulis sesungguhnya yang menjadi Rival Politik terberat Sang Incumbent adalah Pasangan Alex Noerdin – Nono Sampono dengan Nomor Urut 6 Ini. Karena dari segi Kapasitas dan Kapabilitas Pasangan ini mempunyai kesamaan dengan Incumbent Fauzi Bowo. Serta dari segi  Pengalaman Sebagai Pemimpin dan kepala Daerah Alex Tak Kalah Bahkan Bisa Melebihi Fauzi Bowo.

Dalam Hasil Survey Alex Boleh saja tidak diunggulkan tetapi dengan Kekuatan Politik yang terorganisir dan tertata dengan baik serta Pemetaan basis dukungan yang jelas dan terarah akan menjadi kekuatan Besar yang menakutkan Bagi Fauzi Bowo-Nachrowi ramli ditambah Lagi Dukungan Dari Seluruh Kader Golkar,PPP ditambah Gabungan Partai Lainnya akan Menjadi Nilai Tambah Pasangan ini. Dan Hal yang perlu diketahui Alex Nordin adalah Spesialis Penumbang Incumbent, ini telah dibuktikannya sewaktu petarungan Pilkada Musi Banyuasin dan Pilgub Sumsel alex keluar Sebagai Jawaranya.

Dan masyarakat jakarta akhirnya akan membandingkan Prestasi kerja antara Fauzi Bowo dengan Alex Nordin Sebagai pemimpin Yang telah Berpengalaman Pada masing-masing daerah. Dan pada siapakah Rakyat Jakarta menjatuhkan pilihannya diantara Dua Gubernur ini..? Mari Kita tunggu saja.

Yopi Eka Anroni
Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti

Sabtu, 05 Mei 2012

STRUKTUR ANGGARAN DAERAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kota Padang)



Oleh :
Yopi Eka Anroni,SE
Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Trisakti 

I. Pendahuluan   
Semenjak tanggal 1 Januari 2001 maka secara resmi desentralisasi mulai dilaksanakan oleh pemerintah di Indonesia. Undang-undang  Nomor 22/ 1999, dan diganti dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah dan Undang-undang Nomor 25/1999 dan diganti dengan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah dikeluarkan untuk mengatur pelaksanaan desentralisasi tersebut. Menurut kedua undang-undang tersebut, Pemda mempunyai peranan yang lebih penting dan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya serta memajukan daerah dibandingkan dengan sistem sentralisasi. Pemda bersama DPRD mempunyai kewenangan yang lebih besar untuk mengalokasikan anggaran daerah (APBD) sesuai dengan kebutuhan daerah dan dapat memperluas kemungkinan partisipasi lokal dalam pembangunan. Berkenaan dengan konteks ini, desentralisasi dapat memajukan pembangunan daerah lebih efisien, berpihak kepada kelompok miskin (pro-poor) dalam menyediakan pelayanan publik yang lebih sesuai dengan kebutuhan lokal (World Bank, 2000).
            Tetapi, setelah tiga tahun pelaksanaan desentralisasi di Indonesia, perilaku dan mekanisme Pemda yang terdapat di daerah provinsi Sumatera Barat dalam mengalokasikan anggaran sebelum dan setelah desentralisasi belum mengalami perubahan secara signifikan (Syahruddin dan Werry, 2002). Struktur anggaran daerah sebelum dan setelah pelaksanaan desentraliasi adalah hampir sama saja. Akibatnya, hampir seluruh anggaran daerah di daerah provinsi Sumatera Barat tidak mencerminkan kebutuhan daerah atau prioritas pembangunan daerah.
Terdapat tiga faktor utama yang dapat dikaitkan dengan prilaku dan mekanisme yang tidak berubah tersebut. Pertama, sebahagian besar aparatur daerah dan anggota DPRD  yang terlibat dalam penyusunan APBD belum dapat memahami secara mendalam semua aturan-aturan yang berkenaan dengan anggaran daerah. Kedua, DPRD melakukan campur tangan melebihi kewenangan dan fungsinya  yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22/1999 dan PP Nomor 105/ 2000. Pandangan ini berdasarkan fakta yang menunjukkan bahwa Pemda cenderung mengikuti keinginan dan permintaan beberapa kelompok anggota DPRD yang mempunyai kepentingan pada saat penyusunan APBD (Syahruddin dan Werry, 2002; dan Yurnaldi, 2003). Dalam kasus-kasus tertentu, kepala daerah terpaksa mengikuti kehendak anggota DPRD karena  penerimaan dan persetujuan laporan pertanggung jawaban kepala daerah sangat tergantung dari persetujuan DPRD. Ketiga, keterbatasan pandangan dan pemikiran Pemda telah melanggengkan prilaku dan mekanisme lama dalam penyusunan APBD. Ketiga faktor ini telah menyebabkan tidak terdapatnya konsistensi antara tujuan pembangunan daerah dengan alokasi anggaran. Dengan kata lain, terdapat kecenderungan ketidaksesuaian antara tujuan desentralisasi fiskal dengan pembangunan daerah.
Dalam dua tahun terakhir, beberapa kajian telah coba menyorot keterkaitan antara struktur APBD dengan tujuan pembangunan daerah di provinsi Sumatera Barat. Akan tetapi, kajian dan analisis yang mendalam untuk membandingkan struktur anggaran daerah sebelum dan setelah desentralisasi pada satu daerah masih sangat terbatas. Oleh karena itu kajian perbandingan yang komprehensif tentang struktur anggaran daerah sebelum dan setelah desentralisasi sangat perlu untuk dilakukan.
Sehubungan dengan itu, kota Padang dipilih sebagai daerah untuk kajian kasus. Terdapat tiga alasan yang mendasari pemilihan tersebut. Pertama, kota Padang mempunyai prestasi ekonomi terbaik (dalam ukuran pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, pertumbuhan kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan) dibandingkan dengan daerah-daerah lain di provinsi Sumatera Barat. Kedua, daerah ini mempunyai pendapatan per-kapita dan proporsi PAD tertinggi di provinsi Sumatera Barat. Ketiga, kegiatan ekonomi dalam bidang industri, perdagangan dan jasa terkonsentrasi di kota Padang. Oleh karena itu, kota Padang mempunyai peluang yang lebih besar untuk memajukan perekonomiannya, meningkatkan PAD serta melaksanakan desentralisasi lebih baik, dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya.
Sebelum desentralisasi, alokasi anggaran harus  mengikuti beberapa aturan dan disetujui oleh tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Pemerintah pusat memberi mandat pengeluaran dan Pemda secara sederhana hanya melaksanakan anggaran yang telah ditetapkan tersebut. Pada sistem anggaran seperti ini, kemungkinan “missing link” antara alokasi anggaran dan tujuan pembangunan daerah adalah sangat besar. Tetapi, menurut dua undang-undang yang berkenaan dengan desentralisasi di Indonesia, Pemda mempunyai peluang yang lebih besar untuk menyiapkan anggaran sesuai dengan kebutuhan daerah dan yang menjadi perhatian masyarakat. Oleh karena itu struktur anggaran dan alokasi APBD setelah pelaksanaan desentralisasi seharusnya lebih baik dibandingkan dengan  sebelum desentralisasi.
Salah satu  indikasi anggaran yang baik adalah terdapatnya konsistensi antara alokasi anggaran dengan tujuan pembangunan daerah atau prioritas pembangunan daerah. Misalnya, jika pendidikan adalah prioritas utama pembangunan daerah, maka proporsi anggaran bidang pendidikan dari sisi pengeluaran seharusnya lebih besar dari sektor yang lain dan kegiatan-kegiaan yang dilaksanakan harus kegiatan yang dapat mempercepat pencapaian tujuan. 
Sebaliknya, dari sisi penerimaan, Pemda mempunyai peluang yang lebih besar untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dengan mengintensifkan dan memperluas basis penerimaan. Meskipun Undang-Undang Nomor 34/2000 mengemukakan beberapa kriteria untuk pajak dan retribusi daerah yang baru, Pemda masih mempunyai ruang untuk meningkatkan penerimaan PAD dengan cara memperbaiki kualitas manajemen pajak dan retribusi daerah.
Sampai saat ini belum diketahui apakah struktur dan alokasi APBD kota Padang setelah desentralisasi lebih baik, sama atau lebih buruk dibandingkan dengan sebelum desentralisasi. Juga belum diketahui apakah proses penyusunan anggaran daerah dan dampaknya terhadap pembangunan daerah sebelum desentralisasi sama atau berbeda dengan setelah desentralisasi. Oleh karena itu adalah sangat penting untuk menganalisis proses, struktur dan dampak APBD kota Padang sebelum dan setelah desentralisasi.
Berdasarkan pada  permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tulisan ini bertujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut: (1) Bagaimana perbedaan utama struktur APBD kota Padang dari sisi penerimaan dan pengeluaran sebelum dan setelah desentralisasi. (2). Apakah dampak APBD kota Padang terhadap pembangunan daerah. (3). Bagaimana perbedaan utama antara kuantitas dan kualitas pelayanan publik yang disediakan pemerintah kota Padang sebelum dan setelah desentralisasi.

II. Struktur Anggaran Dan Pengaruhnya Terhadap
     Pembangunan Daerah
Pada sistem desentralisasi, anggaran daerah memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan daerah. Masing-masing daerah mempunyai kewenangan untuk mengalokasikan anggaran daerah sesuai dengan kebutuhan stakeholders di daerah. Dengan demikian pelaksanaan desentralisasi fiskal akan dapat mempercepat pembangunan daerah untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan, mengurangi kesenjangan antar daerah dan masyarakat, serta pengalokasian dana yang efektif dan efisien.
Namun peranan anggaran daerah dalam menentukan keberhasilan pembangunan daerah sangat tergantung dari struktur anggaran daerah. Struktur anggaran dapat dianalisis dari sisi penerimaan dan pengeluaran. Struktur penerimaan daerah menjelaskan tingkat ketergantungan daerah dari sumber penerimaan pemerintah yang lebih tinggi. Sebaliknya struktur pengeluaran daerah dapat menjelaskan alokasi belanja menurut beberapa klasifikasi pengeluaran daerah. Pada bahagian ini pembahasan difokuskan untuk mengetahui perbedaan utama struktur APBD kota Padang dari sisi penerimaan dan pengeluaran, dan menganalisis dampak APBD kota Padang terhadap pembangunan daerah.



II.1. Struktur Penerimaan dan Pengeluaran Daerah
II.1.a. Struktur Penerimaan Daerah
Penerimaan daerah dapat dibedakan atas sumber internal dan sumber eksternal. Sumber penerimaan dari internal adalah Pendapatan Asli Daerah. Sumber penerimaan internal utama kelihatannya belum mengalami perubahan yang signifikan sebelum dan setelah desentralisasi. Meskipun tidak terdapat perbedaan yang cukup berarti, namun peraturan yang mengatur pajak dan retribusi daerah setelah desentralisasi mengalami perubahan. Pajak dan retribusi daerah setelah desentralisasi yang dibahas mengikuti peraturan yang baru.
Komponen sumber penerimaan eksternal ternyata berbeda sebelum dan setelah desentralisasi. Sumber penerimaan yang berasal dari eksternal sebelum desentralisasi terdiri dari : (a) bagi hasil pajak dan bukan pajak, (b) sumbangan dan bantuan, dan (c) penerimaan pembangunan. Selanjutnya pendapatan bagi hasil pajak dan bukan pajak terdiri dari bagi hasil pajak (Pajak Bumi dan Bangunan dan bagi hasil pajak lainnya) serta bagi hasil bukan pajak (Badan Diklat Departemen Dalam Negeri, BAKN, Departemen Keuangan dan USAID,1996). Seterusnya sumbangan dan bantuan terdiri dari Sumbangan Daerah Otonom (SDO) dan bantuan. SDO ditujukan untuk membiayai pengeluaran rutin (belanja pegawai). Bantuan dapat berbentuk “block grants”, bantuan spesifik (specific grants) dan Daftar Isian Proyek (DIP). Block grants terdiri dari Inpres Dati I, Inpres Dati II dan Inpres Desa. Bantuan spesifik terdiri dari bantuan untuk proyek-proyek tertentu seperti Inpres Jalan, Inpres Sekolah Dasar, Inpres Kesehatan dan Inpres Penghijauan. Daftar Isian Proyek (DIP) atau alokasi anggaran pembangunan sektoral  adalah dokumen yang memberikan kewenangan (otoritas) dari anggaran pemerintah pusat untuk proyek-proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh kantor-kantor wilayah departemen yang ada di daerah. Penerimaan pembangunan adalah penerimaan Pemda dalam bentuk bantuan. Pinjaman daerah pada umumnya bersifat jangka pendek untuk menutup defisit anggaran dalam jumlah kecil.
            Setelah desentralisasi, komponen penerimaan eksternal terdiri dari: (a) dana perimbangan, (c) pinjaman daerah, dan (d) lain-lain penerimaan yang sah. Menurut  Undang-Undang 25/1999 dana perimbangan terdiri dari: (a) Bagi Hasil Pajak dan penerimaan SDA, (b) Dana Alokasi Umum (DAU) dan (c) Dana Alokasi Khusus (DAK). Jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang dibagikan hasilnya dengan Daerah adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pajak dan penerimaan SDA bersumber dari kehutanan, pertambangan dan perikanan.
Berdasarkan pada komponen penerimaan daerah tersebut, ternyata struktur anggaran sebelum dan setelah desentralisasi tampaknya belum mengalami perubahan yang signifikan. Meskipun peranan penerimaan PAD mengalami peningkatan setelah desentralisasi, namun peranannya itu didalam struktur penerimaan daerah tampaknya tidak mengalami perubahan yang sangat signifikan. Peningkatan penerimaan PAD tampaknya lebih kecil dari peningkatan penerimaan dana transfer dari pemerintah pusat.
Peranan penerimaan  PAD yang masih rendah tersebut  sebenarnya tidak hanya dialami oleh kota Padang saja, tetapi juga daerah lain di Indonesia. Hasil studi Syahruddin dan Werry (2002),  Robert  S. (2003) menunjukkan bahwa lebih dari 50 % daerah kabupaten dan kota yang mempunyai sumber penerimaan PAD kurang dari 5 %. Jika berpedoman kepada angka rata-rata nasional, maka kontribusi PAD terhadap struktur penerimaan kota Padang sudah relatif besar. Sebaliknya, jika berpedoman kepada perkembangan kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah sebelum dan setelah desentralisasi, maka pelaksanaan desentralisasi dalam jangka pendek tampaknya belum mampu memperbaiki struktur penerimaan daerah., seperti dalam tabel 2.1. berikut.


Tabel 2.1.
Distribusi Penerimaan Pemerintah Kota Padang Menurut Jenis Tahun Anggaran 1994/1995-2000 (%)
No
Jenis Penerimaan
94/95
95/96
96/97
97/98
98/99
99/00
2000
1
Pendapatan Asli Daerah
22,41
20,96
22,97
22,00
25,49
20,57
19,82

-    Pajak Daerah
7,47
7,05
7,79
7,67
14,72
13,42
12,56

-    Retribusi Daerah
13,44
12,97
14,16
13,11
9,82
5,93
6,31

-    Bagian Laba  Usaha Daerah
0,26
0,22
0,21
0,16
0,39
0,30
0,43

-    Lain-lain Pendapatan
1,24
0,72
0,82
1,06
0,56
0,93
0,53
2
Pendapatan Yang Berasal Dari Pemerintah Lebih Tinggi
72,34
71,71
69,70
73,94
72,44
78,88
79,53

-    Bagi Hasil Pajak
7,25
7,74
8,42
7,98
11,07
6,36
6,73

-    Bagi Hasil Bukan Pajak
5,11
5,34
5,25
4,07
1,00
0,10
0,10

-    Subsidi Daerah Otonom
46,50
48,24
45,18
49,68
44,60
56,61
59,18

-    Bantuan Pembangunan
13,49
10,39
10,84
12,22
15,42
12,78
13,52

-    Penerimaan Lainnya
0,00
0,00
0,00
0,00
0,35
3,03
0,00
3
Pinjaman Pemda
5,24
7,33
7,33
4,06
2,07
0,55
0,65

Jumlah
(Rp.juta)
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
57.200
68.223
72.848
94.938
93.595
145.011
122.239
Sumber : APBD kota Padang 1994/1995-2000
            Peranan PAD dalam penerimaan daerah ternyata mengalami penurunan setelah desentralisasi. Meskipun penerimaan PAD secara nominal setelah desentralisasi mengalami peningkatan 3 kali lipat,.namun penerimaan transfer dana dari pemerintah pusat juga meningkat lebih 3 kali lipat setelah desentraliasi. Akibatnya struktur dasar penerimaan daerah sebelum dan setelah desentralisasi tidak mengalami perubahan yang cukup berarti. (tabel 2.2).

Tabel 2.2.
Distribusi Penerimaan Pemerintah Kota Padang Menurut Jenis
Tahun Anggaran 2001-2004 (%)
No
Jenis Penerimaan
2001
2002
2003
2004
1
Pendapatan Asli Daerah
13,92
17,18
16,60
18,12

- Pajak Daerah
9,29
10,89
10,20
11,41

- Retribusi Daerah
4,13
4,52
4,33
4,54

- Bagian Laba  Usaha Daerah
0,31
0,77
1,00
1,17

- Lain-lain Pendapatan Asli Daerah
0,20
1,00
1,06
1,00
2
Dana Perimbangan
86,08
79,67
74,05
73,58

- Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
5,89
6,38
6,65
6,59

- Dana Alokasi Umum
53,80
69,36
63,93
63,27

- Dana Alokasi Khusus
15,33
0,00
1,08
1,39

- Dana Perimbangan Dari Propinsi
11,06
3,94
2,38
2,33
3
Lain-lain Pendapatan Yang Sah
0,00
3,14
9,35
8,30

Jumlah
(Rp.juta)
100,00
100,00
100,00
100,00
305.527
337.144
415.330
430.110
Sumber: APBD Kota Padang 2001-2004

II.1.b. Struktur Pengeluaran Daerah
            Struktur pengeluaran tampaknya juga belum mengalami perubahan yang cukup berarti. Proporsi pengeluaran rutin jauh lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran untuk pembangunan atau belanja modal dan belanja pelayan publik. Bahkan setelah desentralisasi proprosi pengeluaran rutin cenderung mengalami peningkatan. Terdapat dua faktor utama yang menyebabkan peningkatan tersebut. Pertama, pengeluaran pebangunan setelah desentralisasi betul-betul untuk keperluan belanja modal saja. Rehabilitasi tidak dimasukan ke dalam belanja modal. Kedua, pengeluaran untuk belanja pegawai mengalami peningkatan akibat penyerahan sebahagian pegawai kepada Pemda.
            Struktur pengeluaran untuk pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, penanaman modal dan usaha kecil, serta bidang infrastruktur tampaknya juga belum mengalami perubahan secara signifikan. Jika pengeluaran masing-masing bidang tersebut dirinci menurut kegiatan, maka sulit untuk menarik kesimpulan prioritas kegiatan untuk masing-masing bidang. Hal ini disebabkan oleh belum terdapatnya konsistensi antara program dan kegiatan yang dilakukan.
Disamping itu, struktur pengeluaran daerah tampaknya juga belum memperlihatkan keterkaitan yang jelas dengan pembangunan daerah. Meskipun jumlah angggaran daerah mengalami peningkatan yang luar biasa setelah desentralisasi, tetapi kinerja pembangunan daerah yang diukur dari beberapa indikator pembangunan belum memperlihatkan perbedaan yang cukup berarti. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan alokasi anggaran ternyata belum mampu mengatasi permasalahan ekonomi secara optimal di kota Padang sampai saat ini.
            Kenyataan yang demikian adalah wajar dan mungkin saja terjadi, sebab setelah dilakukannya desentralisasi, jumlah pegawai di kota Padang mengalami peningkatan secara signifikan. Hal ini terjadi karena sebagian besar dari pegawai yang sebelumnya dibawah kewenangan pemerintah pusat tetapi setelah pelaksanaan desentralisasi menjadi tanggung jawab Pemda kota Padang. Kenyataan yang demikian jelas mengakibatkan proporsi APBD untuk belanja pegawa meningkat secara tajam dan tinggi sekali.   

Tabel 2.3
 Alokasi Pengeluaran Rutin dan Belanja Pembangunan (Belanja Modal) APBD Kota Padang, 1994/1995  - 2004
Tahun
Jumlah (Rp. Juta)
Distribusi (%)
Peningkatan (%)
Rutin
Pemba-ngunan
Rutin
Pemba-ngunan
Rutin
Pemba-ngunan
Sebelum Desentralisasi






1994/1995
36.669
20.828
63,78
36,22


1995/1996
40.258
23.178
63,46
36,54
9,79
11,29
1996/1997
46.518
17.497
72,67
27,33
15,55
-24,51
1997/1998
59.018
27.272
68,40
31,60
26,87
55,86
1998/1999
63.576
25.478
71,39
28,61
7,72
-6,58
1999/2000
107.234
30.365
77,93
22,07
68,67
19,18
2000
97.145
31.374
75,59
24,41
-9,41
3,32
Setelah Desentralisasi






2001
184.841
42.141
81,43
18,57
90,27
34,32
2002
291.303
43.428
87,03
12,97
57,60
3,05
2003
356.134
31.086
91,97
8,03
22,26
-28,42
2004
409.096
18.114
95,76
4,24
14,87
-41,73
Sumber : APBD Kota Padang, Tahun Anggaran 1994/1995 - 2004

Namun yang menjadi pertanyaan adalah kenapa belanja pembangunan setelah desentraliasi semakin kecil. Terdapat dua faktor utama yang dapat menjelaskan fenomena struktur anggaran tersebut. Pertama, sebelum desentralisasi terdapat inkonsistensi definisi belanja pembangunan. Misalnya, sebelum desentralisasi sebahagian besar pengeluaran untuk rehabilitasi dan operasi diklasifikasikan sebagai belanja pembangunan, sehingga proporsi anggaran pembangunan cenderung terlihat lebih besar (Ediharsi, et.al, 1999). Sementara setelah desentralisasi pengeluaran belanja modal/pembangunan betul-betul pengeluaran yang dapat menambah nilai aset.
Kedua, proporsi belanja rutin yang semakin meningkat setelah desentralisasi disebabkan oleh penyerahan pegawai dari pemerintah pusat kepada Pemda. Terutama gaji guru dan tenaga kesehatan menjadi tanggung jawab daerah. Misalnya, untuk tahun anggaran 2004, proporsi belanja administrasi umum pada aparatur daerah dan pelayanan publik mencapai 76,7 % dari seluruh total pengeluaran. Dengan demikian peningkatan proporsi pengeluaran rutin setelah desentraliasi sebagai akibat penambahan jumlah pegawai daerah dan pendefinisian anggaran rutin yang semakin baik.
Pertanyaan selanjutnya dari tabel 2.3. adalah apa implikasi struktur anggaran yang demikian. Pertama, fungsi anggaran daerah tidak dapat terlaksana secara efektif, karena sebahagian besar anggaran daerah telah terserap untuk belanja rutin.  Bahagian belanja rutin yang terbesar adalah untuk keperluan pembayaran gaji pegawai. Oleh karena anggaran pengeluaran digunakan untuk biaya rutin dan pemeliharaan, maka fungsi anggaran sebagai alat penentu tujuan dan sasaran kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif.
Kedua, pembangunan infrastruktur tidak dapat ditingkatkan seandainya tidak ada upaya lain dari pemerintah kota Padang untuk melakukan kerjasama dengan pihak ketiga. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa pembangunan infrastruktur adalah sangat diperlukan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kegiatan ekonomi daerah. Ketiga, hubungan anggaran daerah dengan pertumbuhan ekonomi semakin lemah. Akai dan Sakata (2002) menyatakan bahwa hubungan anggaran daerah dengan pertumbuhan ekonomi berdasarkan bukti empiris adalah tidak konsisten. Namun ada kecenderungan  terdapat hubungan positif antara anggaran dengan pertumbuhan ekonomi. Hubungan posisitif tersebut akan terjadi jika proporsi belanja modal relatif besar dan pelayanan yang diberikan untuk dapat mendorong investasi swasta.

III. Kuantitas Dan Kualitas Pelayanan Publik Sebelum Dan
       Setelah Desentralisasi
Pengertian pelayanan publik dalam pembahasan ini adalah pelayanan kebutuhan dasar yang disediakan oleh Pemda. Pelayanan dasar tersebut meliputi pelayanan pendidikan, kesehatan, dan pelayanan air bersih. yang menjadi kewenangan Pemda. Pemda harus memberikan beberapa pelayanan dasar tersebut kepada masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. 

III.1. Pelayanan Pendidikan.
Pelayanan bidang pendidikan secara umum telah mengalami peningkatan dari tahun ketahun terutama dari sisi kuantitas. Hal ini terlihat dari peningkatan jumlah sekolah mulai dari tingkat SD, SMP, maupun SLTA. Jumlah sekolah dasar negeri memang belum mengalami peningkatan selama 10 tahun terakhir, tetapi jumlah sekolah dasar swasta mengalami peningkatan. Sedangkan jumlah SMP dan SLTA selama sepuluh tahun terakhir tampaknya juga mengalami peningkatan, meskipun tidak dalam jumlah yang besar.
Selanjutnya jumlah SMA dan SMK yang terdapat di kota Padang juga mengalami peningkatan meskipun tidak signifikan. SMA sudah terdapat pada masing-masing kecamatan, tetapi SMK hanya terdapat di 5 kecamatan saja (Kecamatan Lubuk Begalung, Padang Timur, Padang Barat, Padang Utara dan Kecamatan Kuranji). Sebahagian besar kondisi sekolah dapat dimasukan  kedalam kategori baik. (tabel 3.1).

Tabel 3.1

Perkembangan Jumlah Sekolah di Kota Padang

Sebelum dan Setelah Desentralisasi
Tahun
SD
SLTP
SLTA
Negeri
Swasta
Negeri
Swasta
Negeri
Swasta
Sebelum Desentralisasi






1994
366
56
32
39
12
29
1995
367
55
32
39
12
29
1996
367
55
32
41
12
29
1997
367
55
32
37
13
30
1998
367
53
34
37
13
31
1999
368
53
34
37
14
31
2000
366
58
34
36
14
30
Setelah Desentralisasi






2001
362
50
34
39
14
31
2002
361
55
35
36
14
30
2003
354
60
35
38
14
31
2004
354
61
35
38
14
31
Sumber:  BPS, kota Padang Dalam Angka dalam berbagai terbitan

Kualitas pelayanan kelihatannya juga sudah menunjukkan perkembangan yang cukup baik dan menggembirakan bila dilihat dari indikator rasio guru dengan murid. Meskipun berdasarkan indikator ini semua tingkat pendidikan ternyata belum mengalami perubahan yang signifikan namun rasio guru dengan murid tampaknya sudah mendekati standar pelayanan yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Hasil pelayanan bidang pendidikan secara umum boleh dikatakan cukup baik. APM untuk sekolah dasar (SD) mengalami peningkatan yang cukup berarti, dimana angka ini cenderung lebih baik setelah desentralisasi. Tetapi APM untuk SD belum mencapai angka 100 %. Ini berarti bahwa program wajib belajar 9 tahun dapat dikatakan belum tuntas. Sementara itu, APM untuk SMP pada tahun 2003 sebesar 93,8 menjelaskan bahwa  masih terdapat 6,2 % penduduk usia sekolah (13-15)  tahun yang tidak sekolah di kota Padang, meskipun angkanya tidak begitu besar, namun hal ini merupakan tantangan yang cukup besar yang dihadapi oleh Pemda. Begitu juga dengan angka APM SLTA yang relatif jauh lebih rendah, dimana hanya sebesar 80,4 tahun 2003.

Tabel 3.2.
Perkembangan APM SD, SLTP dan SLTA Sebelum dan Sesudah Desentralisasi
Tahun
APM
SD
SLTP
SLTA
Sebelum Desentralisasi



1994
86,2
76,4
63,1
1995
90,2
79,8
72,3
1996
90,4
85,2
83,0
Setelah Desentralisasi



2001
98,6
93,1
82,7
2002
98,0
93,0
82,6
2003
98,2
93,8
80,4
                Sumber : Dinas Pendidikan Kota Padang, 2005

III.2. Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan dari tahun ketahun diupayakan untuk meningkat secara terus menerus. Hal ini terlihat dari terjadinya peningkatan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan sebelum dan sesudah desentralisasi. Meskipun peningkatannya belum signifikan bila dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk, namun suatu hal yang cukup menggembirakan adalah pembangunan sarana pelayanan kesehatan sudah menyebar kedaerah pinggiran kota. Pembangunan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan yang cenderung mengalami peningkatan adalah jumlah rumah sakit khusus dan Puskesmas (tabel 3.3). Jumlah rumah sakit khusus  tampaknya mengalami peningkatan yang cukup signifikan, dimana sebelum desentralisasi hanya 3 unit kemudian  naik menjadi 8 unit pada tahun 2004. 

Tabel 3.3
Perkembangan Jumlah Tempat Pelayanan Kesehatan
 Sebelum dan Setelah Desentralisasi di Kota Padang
Tahun
Rumah Sakit Umum
Rumah Sakit Khusus
Puskesmas
Propinsi
Daerah
Swasta
Sebelum Desentralisasi





1994
1
3
9
3
65
1995
1
3
9
7
65
1996
1
3
11
4
66
1997
1
4
11
4
66
1998
1
5
12
4
67
1999
1
5
12
4
69
2000
1
6
7
4
69
Sesudah Desentralisasi





2001
1
6
7
6
74
2002
1
6
9
8
74
2003
1
6
9
8
74
2004
1
6
9
8
70
Sumber : BPS, Kota Padang Dalam Angka dalam berbagai terbitan
Selanjutnya, hasil pelayanan kesehatan dapat dicerminkan dari indikator hasil (outcome) pelayanan kesehatan. Secara umum dapat dinyatakan bahwa derajad kesehatan masyarakat kota Padang mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari adanya perubahan yang cukup signifikan dari beberapa indikator tingkat kesehatan penduduk (tabel 3.4).

Tabel 3.4
Perkembangan Indikator Tingkat Kesehatan Penduduk
Kota Padang Sebelum dan Setelah Desentralisasi
Periode/ Tahun
Indikator Kesehatan Penduduk
Usia Harapan Hidup (Tahun)
Angka Kematian Bayi per 1000 KH
Sebelum Desentralisasi


1994
64,71
38
1995
66,52
36
1996
67,24
35
1997
67,91
34
1998
68,33
34
1999
68,84
30
2000
69,81
30
Setelah Desentralisasi


2001
70,15
28
2002
70,43
27
2003
71,08
26
2004
71,50
25
                 Sumber: Dinas Pendidikan Kota Padang, 2005

IV.3. Kerjasama Dalam Pembangunan Daerah
Dalam rangka mempercepat proses pembangunan, Pemda kota Padang telah berupaya untuk melakukan kerjasama pembangunan dengan berbagai pihak. Inisiatif kerjasama ini dalam beberapa tahun terakhir tendensinya semakin meningkat terutama untuk mendatangkan para investor untuk menanamkan modalnya di kota Padang.
Pada tahun 1990-1991 pemerintah kota Padang telah melakukan kerjasama dengan pemerintah kota Weldehim, Jerman. Kerjasama ini lebih dikenal dengan kerjasama kota kembar (sister city). Tujuan yang ingin dicapai melalui kerja sama ini adalah untuk mengatasi masalah infrastruktur dalam penanggulangan banjir dan perbaikan lingkungan dan permukiman. Kerjasama ini dilakukan atas inisiatif Pemda dan difasilitasi oleh pemerintah pusat. Hasil yang telah dicapai dari kerjasama ini dimana kota Padang  telah memperoleh penghargaan “Adipura” dan “Adipura Kencana”.
Selanjutnya sebelum pelaksanaan desentralisasi, pemerintah kota Padang juga mengadakan kerjasama dengan kota Seremban, Malaysia. Kerjasama ini juga lebih dikenal dengan “sister city”. Kerjasama ini dimaksudkan dalam rangka pengembangan kawasan wisata “Siti Nurbaya”. Tetapi kerja sama ini belum menunjukan hasil sesuai dengan harapan, karena investor dari Malaysia tersebut tidak jadi menanamkan modalnya untuk membangun hotel dan kawasan pariwisata tersebut. Tidak terealisirnya kerjasama ini disebabkan oleh terjadinya krisis moneter yang mendorong masyarakat untuk menuntut harga tanah yang jauh lebih tinggi dan tidak sesuai lagi dengan MOU yang telah disepakati.
Pada era pelaksanaan desentralisasi, pemerintah kota Padang juga belum dapat melakukan atau membuat kesepakatan untuk melakukan kerjasama. baik dengan luar negeri maupun Pemda lainnya. Hal ini barangkali disebabkan oleh beberapa hal antara lain : Pertama, Pemda belum memahami betul substansi dan hakekat dari pelaksanaan desentralisasi tersebut. Seperti yang dikemukakan Simajuntak (1999), banyak Pemda yang belum memahami substansi “otonomi daerah  yang pelaksanaannya dimulai pada tanggal 1 Januari 2001. Menurut pandangannya, otonomi daerah lebih banyak dipahami sebagai bersifat parsial tanpa memperhatikan keterkaitan sosial ekonomi daerah dengan daerah lainnya. Akibat pemahaman seperti ini, maka fokus Pemda lebih banyak mengutamakan pembangunan daerah sendiri tanpa melihat keterkaitan dengan daerah lainnya dan berusaha meningkatkan PAD semaksimal mungkin.  Rendahnya pemahaman tentang substansi otonomi daerah oleh pejabat dan anggota DPRD untuk daerah Sumatera Barat didukung oleh hasil penelitian Syahruddin dan Werry (2002). Oleh sebab itu, pemahaman yang masih rendah tentang substansi otonomi daerah oleh pejabat dan anggota DPRD diperkirakan sebagai salah satu penyebab belum dilakukannya kerjasama antar Pemda.
Kedua, walikota Padang yang lama pada awal pelaksanaan desentralisasi menghadapi masalah hukum. Puncak dari masalah yang dihadapi ini adalah walikota tersebut diberhentikan sementara (non-aktif) sampai  ditetapkan keputusan hukumnya. Proses penyelesaian hukum ini berlansung lebih dari satu tahun (2001-2003), sehingga Sekretaris Daerah ditunjuk sebagai pelaksana tugas harian walikota. Dalam kondisi seperti ini tentu kebijakan-kebijakan strategis untuk pembangunan tidak dapat diambil oleh pelaksana tugas harian walikota.
            Meskipun demikian, dalam tahun terakhir ini kerjasama dengan pihak swasta, LSM dan perguruan tinggi kelihatannya mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Kerjasama yang dilakukan dengan pihak swasta sebelum dan setelah disentralisasi diperlihatkan pada Tabel 4.1. 

Tabel 4.1
Daftar Kerjasama Pemda Kota Padang dengan Pihak Swasta
No
Periode/ Bidang Kerjasama
Mitra Kerjasama
Objek Kerjasama
Keterangan/ Hasil

Sebelum Desentralisasi



1
Bidang Pariwisata
Pihak swasta Malaysia
Membangun hotel di kawasan wisata Siti Nurbaya (Gunung Padang)
Belum dapat direalisasi
Pihak swasta Perancis
Pembangunan Kawasan Pulau Sikuay
Suadah beroperasi semenjak tahun 1990

Setelah
Desentralisasi



1
Bidang Perdagangan
PT. Inti Griya Prima Sakti, 2004
Membangun Mall di bekas Terminal Lintas Andalas (TLA) dengan sistem  BOT
Proses pembangunan sedang berjalan dan mencapai 65 %
PT. Cendana G Sekawan, 2004
Membangun PPM Goan Hot dengan system BOT)
Mulai pelaksanaan proyek
2
Bidang Pariwisata
Erick Camerun, Australia
Membangun Kawasan Muaro Padang
Penandatangan MOU, realisasi belum ada
Pemda Sumut dan Bali, 2004
Pengembangan Pariwisata
Sedang dalam proses (sudah ada MoU).
PHRI, ASITA, TAKSI, 2005
Pengembangan Kawasan Wista Bungus
Belum ada realisasi
PT. Zocorindo
Pembangunan Hotel di pantai Padang
Proses Pembebasan Lahan
3
Bidang Perikanan dan Kelautan
Pengusaha Ikan Hias dan Rumput Laut, 2003
Pengembangan ikan hias dan Rumput Laut
Sudah berproduksi dan diekspor ke Malaysia
Pemda Jepara
Pembenihan bibit ikan gurapu
Sudah berproduksi
Sumber : Bappeda Kota Padang, 2005.

            Setelah pelaksanaan desentralisasi Pemerintah kota Padang telah melakukan kerjasama dengan pihak swasta untuk mengembangkan komoditi unggulan (perdagangan, pariwisata, perikanan dan kelautan). Dari beberapa kesepakatan kerjasama dengan pihak swasta tersebut, beberapa proyek telah direalisir seperti terlihat pada Tabel 4.2 berikut.
Kerjasama dalam mengembangkan komoditi unggulan (pariwisata) juga telah diupayakan oleh Pemda kota Padang, meskipun hasilnya belum optimal. Diantara kerjasama yang sedang diupayakan oleh Pemda kota Padang adalah membangun jaringan informasi dan promosi pengembangan pariwisata dengan Pemda Sumatera Utara dan Bali. Akan tetapi Pemda kota Padang memang belum membangun kerja sama dengan daerah tetangga yang memiliki potensi wisata cukup besar seperti Mentawai dan kota Bukittinggi.
Selanjutnya kerjasama yang dibangun dengan berbagai institusi pemerintah baik perguruan tinggi, lembaga penelitian dan LSM, kelihatannya sangat membantu Pemda dalam menggerakkan roda pembangunan. Sebab dengan adanya kerjasama ini, maka keterbatasan sumberdaya manusia Pemda dapat diatasi secara berkelanjutan.

Tabel 4.2
Daftar Kerjasama Pemda Kota Padang dengan Pihak Institusi Pemerintah,
Konsultan dan LSM
No
Periode/Bidang Kerjasama
Mitra Kerjasama
Objek Kerjasama
Keterangan/ Hasil
1
Perencanaan Pembangunan
















Universitas Andalas
·      Menyusun Poldas, Propeda dan Renstra Daerah (2001-2005)
·      Menyusun draf awal Program Pembangunan Jangka Menengah (2005-2020
·      Menyusun Pengembangan Kawasan Pasar Bungus (2000)
Telah dijadikan Perda
Center for Participatory Planning Pascasarjana
·      Penyusunan Musrenbang Kelurahan Tahun 2005

Sudah MoU
Konsultan
·      Evaluasi dan Revisi Uraian Tugas Instansi Daerah
·      Revisi Tata Ruang Kota Padang
·      Master Plan Kota Padang
·      Pengembangan Pasar-Pasar Pembantu
·      Penyusunan Musrenbang secara partisipatif (Perform Project)
SK Walikota

Telah dijadikan Perda



Tersusunnya Musrenbang Kelurahan
LIPI
·      Pengembangan Terumbu Karang dan Ikan Hias
Ikan hias telah diekspor ke Malaysia
2
Penelitian
Universitas Andalas
·      Pengembangan Produk Unggulan, 2002
·      Pengembangan Kawasan Ekonomi, 2003

Universitas Bung Hatta
·      Pengembangan Wilayah Pesisir, 2004

3.
Pelatihan
PSKD Universitas Andalas
·      Pelatihan Perencanaan Pembangunan, 2003/2004
·      Pelatihan Dana Hibah, 2003/2004
·      Kursus Keuangan Daerah, 2004
Meningkatnya kemampuan aparatur Pemda Kota Padang
Perform Project
·      Pelatihan Perencanaan Partisipatif untuk stakeholders Kota Padang
·      Pelatihan Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif
Meningkatnya pengetahuan dan kemampuan aparatur Pemda Kota Padang
4.
Penyusunan Anggaran
PT Usadi Sistemindo
·      Menyusun Anggaran Berbasis Kinerja (Performance Budgeting), 2003
Hasil belum seperti yang diharapkan
Sumber: Bappeda Kota Padang, 2005

Namun setelah keluarnya Kepres Nomor 80/ 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa terjadi pergeseran pola kerjasama. Kerjasama dengan pihak konsultan swasta mengalami peningkatan karena terdapat kesalahan dalam memahami substansi Kepres Nomor 80/2003 oleh sebahagian aparat Pemda. Padahal dalam Kepres tersebut dengan tegas menyatakan bahwa “penyediaan jasa penelitian, perencanaan, uji labotorium dapat dilaksanakan oleh perguruan tinggi negeri dan institusi sejenis pemerintah”.

IV.4. Terobosan Kebijakan Pemda
IV.4.a. Meningkatkan Efisiensi Anggaran dan Efektifitas Pelayanan
Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayanan kepada masyarakat (publik), maka pemerintah kota Padang telah melakukan beberapa kebijakan. Salah satu kebijakan yang dilakukan adalah melalui restrukturisasi SOTK pada tahun 2004. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah kota Padang memiliki struktur organisasi yang boleh dikatakan terlalu gemuk. Oleh sebab itu, walikota baru melakukan perombakan dalam struktur organisasi tata keperintahan (SOTK) kota Padang pada tahun 2004.
Tujuan perombakan SOTK tersebut selain untuk meningkatan efisiensi, juga untuk memenuhi tuntutan PP 08 Tahun 2003. Berdasarkan SOTK baru, jumlah dinas diturunkan dari 18 menjadi 14, Badan menjadi 7 dan kantor sebanyak 2 (dua) buah. Meskipun sudah terjadi perubahan SOTK, perubahan tersebut diperkirakan tidak banyak membawa pengaruh terhadap efisiensi APBD dan efektifitas pelayanan karena struktur organisasinya masih saja gemuk. Jumlah eselon II hanya berkurang sebanyak 1 buah saja. Pada hal pemerintah kabupaten Tanah Datar berani menurunkan jumlah eselon II sebanyak 13 buah. Dengan pengurangan esalon II sebanyak 13 tersebut, pemerintah kabupaten Tanah Datar dapat melakukan pengehematan biaya rutin yang luar biasa. Dengan demikian perombakan SOTK kota Padang pada tahun 2004 diperkirakan belum dapat meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran daerah secara signifikan.
Terobosan peningkatan efisiensi dalam bentuk lain sampai tahun 2004 belum ada dilaksanakan oleh pemerintah kota Padang. Sementara daerah lain telah melakukan berbagai bentuk kebijakan efisiensi (penghematan) anggaran. Misalnya, daerah kabupaten Tanah Datar telah menerapkan kebijakan cash management dan sewa beli kenderaan dinas untuk keperluan pejabat daerah yang dianggap memiliki kemampuan dan memenuhi syarat. 
Kebijakan cash management yaitu pola manajemen rekayasa keuangan yang terdapat dalam kas daerah. Menurut bupati kabupaten Tanah Datar (Masriadi Martunus, 2005) melalui gebrakan ini ternyata telah dapat menghemat APBD dan meningkatkan penerimaan PAD secara signifikan. Akibat terjadinya beberapa penghematan, pemerintah kabupaten Tanah Datar dapat meningkatkan investasi daerah berupa penyertaan modal ke BPD, tanpa mengurangi efektifitas pelayanan terhadap masyarakat.
Inisiatif dan terobosan lain yang dikembangkan oleh Pemerintah KabupatenTanah Datar yang perlu untuk dicontoh juga adalah peningkatan profesionalisme pengelolaan badan usaha milik daerah (BUMD) melalui kerjasama dengan PERFORM PROJECT. Kebijakan ini tampaknya telah dapat meningkat kinerja pengelolaan PDAM dengan mendapat prestasi terbaik di Indonesia dan memperoleh penghargaan dari USAID dan Pemda provinsi Sumatera Barat.
Kemudian pemerintah kabupaten Solok dalam menciptakan efisiensi anggaran juga telah melakukan kebijakan pembayaran tunjangan daerah kepada seluruh pegawai. Tunjangan daerah ini bertujuan untuk menggantikan segala macam honor-honor yang selama ini dikeluarkan. Dengan demikian penghematan (effisiensi) anggaran dapat dilakukan dengan menghapus berbagai bentuk honor yang dikeluarkan selama ini. Disamping itu kebijakan ini juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan bagi pegawai pemda, sehingga balas jasa yang diberikan benar-benar berdasarkan kinerja yang dicapai oleh aparatur.

IV.4.b. Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Penurunan Pengangguran
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengurangi pengangguran, pemerintah kota Padang memfokuskan pada tiga bidang pembangunan, yaitu perdagangan dan jasa, pariwisata dan perikanan dan kelautan. Meskipun berbagai upaya sudah dilakukan, namun sampai saat ini belum ada dampak yang signifikan untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan.
            Pola pengembangan ketiga bidang pembangunan prioritas ini nampaknya masih bersifat klasik dan belum berbeda dari pola-pola sebelum desentralisasi. Kerjasama dalam bidang pariwisata yang telah dikemukakan pada Tabel 4.2 belum satupun yang terealisasi. Padahal realisasi kerjasama bidang pariwisata tersebut sangat penting untuk memajukan ekonomi kota Padang. Oleh sebab, pemerintah kota Padang perlu menjajaki lagi agar kerjasama yang telah dirintis tersebut dapat dilaksanakan.
            Disamping itu, pemda kota Padang dalam tahun terakhir ini juga sedang mencoba untuk menerapkan pola pengembangan ekonomi lokal partisipatif. Pengembangan ekonomi lokal tersebut dengan menggunakan pendekatan klaster dengan melibatkan semua stakeholders terkait seperti yang dikembangkan oleh daerah kabupaten Agam. Dalam hal ini, tim pemda Padang telah mengunjungi dan menjajaki kerjasama dengan pemda kabupaten Agam khusus untuk mengembangkan klaster industri kerajinan tekstil.

IV.4.c. Kebijakan Pengentasan Kemiskinan
Angka kemiskinan masih merupakan salah satu persoalan yang cukup serius bagi pemda kota Padang. Meskipun tingkat kemiskinan relatif rendah, tetapi jumlah absolut penduduk dan keluarga miskin terus mengalami peningkatan. Tingkat kemiskinan di kota Padang dilaporkan  sebesar 10,51 % (Media BAZ, 2004). Kantong-kantong kemiskinan kota Padang berada di kawasan pinggir kota seperti sekitar Terminal Air Pacah, Bungus, Sungai Pisang, Bukit Gado-gado  dan kawasan lainnya.
Dalam rangka mengatasi kemiskinan ini, Pemda Padang juga telah berupaya untuk menggerakkan partisipasi masyarakat yakni melalui pengumpulan zakat. Dana zakat ini nantinya digunakan sebagai modal usaha bagi masyarakat yang tidak mampu tersebut untuk meningkatkan kegiatan ekonomi mereka. Namun demikian, pola pengetasan kemiskinan yang sedang dikembangkan oleh kota Sawahlunto sebenarnya juga baik untuk dicontoh. Kota Sawahlunto telah melakukan kerjasama dengan berbagai pihak untuk pengentasan kemiskinan di daerah tersebut. Pada tahun 2005 telah dilakukan ditanda tangani kerjasama Bank Indonesia Cabang Padang, Universitas Andalas, Bank Nagari dan pemerintah kota Sawahlunto untuk mengentaskan sekitar 3000 keluarga miskin.  Dalam kerjasama tersebut Bank Indonesia bekerjasama dengan Universitas Andalas untuk mengindentifikasi keluarga miskin dan menyusun data base keluarga miskin tersebut menurut peluang-peluang dan potensi ekonomi yang dapat dimiliki keluarga miskin. Kemudian pemerintah kota Sawahlunto bekerjasama dengan Bank Nagari dengan komposisi 60:40 menyediakan dana untuk pengembangan usaha keluarga miskin yang bankable.

VI. Kesimpulan dan Rekomendasi

VI.1. Kesimpulan
Pembahasan ini berkaitan erat dengan struktur anggaran daerah dan pengaruhnya terhadap pembangunan daerah. Tujuan pembahasan ini secara spesifik adalah menganalisis struktur anggaran kota Padang dari sisi penerimaan dan pengeluaran sebelum dan setelah desentralisasi dan pengaruhnya terhadap pembangunan kota Padang. Disamping itu juga untuk mengkaji perbedaan kuantitas dan kualitas pelayanan publik sebelum dan setelah desentralisasi, membahas respon pemerintah dan DPRD kota Padang terhadap aspirasi masyarakat dan terobosan-terobosan yang dilakukan oleh pemerintah kota Padang untuk mempercepat kegiatan pembangunan, akuntabilitas publik dan dampak peraturan daerah terhadap iklim usaha.
Kajian ini menggunakan data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai instansi di lingkungan pemerintah kota Padang. Periode pembahasan adalah periode sebelum desentralisasi (1994-2000) dan periode pelaksanaan desentralisasi (2001-2004). Dalam pembahasan dilakukan beberapa penyesuaian yang diperlukan agar data sebelum dan setelah desentralisasi dapat dibandingkan.  Selanjutnya dalam pembahasan lebih banyak digunakan istilah desentralisasi, karena inti dari otonomi daerah adalah desentralisasi. Kemudian fokus pelaksanaan dari desentralisasi tersebut adalah desentralisasi fiskal. Merujuk kepada fokus pembahasan kajian ini, maka penggunaan istilah desentralisasi lebih tepat dibandingkan dengan istilah otonomi daerah.
Bedasarkan pengkajian dan pembahasan yang dilakukan maka diperoleh beberapa hasil kajian utama sebagai berikut:
a.       Belum terdapat perbedaan yang signifikan tentang struktur anggaran sebelum dan setelah desentralisasi baik dari sisi penerimaan maupun sisi pengeluaran. 
b.      Penerimaan PAD mengalami peningkatan yang cukup signifikan setelah desentralisasi, tetapi peranannya dalam struktur penerimaan daerah belum mengalami perubahan karena peningkatan penerimaan PAD lebih kecil dari peningkatan penerimaan dana transfer dari pemerintah pusat (dana perimbangan). Kenyataan ini menunjukkan bahwa setelah desentralisasi penerimaan daerah tetap sangat tergantung dari pemerintah pusat.
c.       Setelah desentralisasi proporsi pengeluaran rutin ternyata jauh lebih besar dari belanja pembangunan karena pengeluaran pembangunan setelah desentralisasi benar-benar digunakan untuk keperluan belanja publik dan pelayanan. Sebaliknya pengeluaran untuk belanja pegawai ternyata mengalami peningkatan sebagai akibat dari penyerahan sebahagian pegawai pusat (pegawai kanwil) kepada Pemda. Sebagai konsekuensinya beberpa fungsi anggaran daerah belum dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan.
d.      Struktur pengeluaran untuk bidang pendidikan, kesehatan, perindag, serta bidang infrastruktur juga belum mengalami perubahan yang cukup berarti. Jika pengeluaran masing-masing bidang tersebut dirinci menurut kegiatan, maka sulit ditarik kesimpulan tentang prioritas kegiatan untuk masing-masing bidang pembangunan. Hal ini disebabkan oleh belum terdapatnya konsistensi antara program dan kegiatan yang dilakukan.
e.       Tidak terdapat keterkaitan yang jelas antara struktur pengeluaran daerah kota Padang dengan pembangunan daerah. Meskipun jumlah angggaran daerah mengalami peningkatan yang cukup besar setelah desentralisasi, namun kinerja pembangunan daerah yang diukur dari beberapa indikator pembangunan belum memperlihatkan perbedaan yang besar. Salah satu penyebabnya adalah anggaran lebih banyak diserap untuk keperluan anggaran rutin (belanja aparatur) saja.
f.       Secara umum belum terdapat perbedaan kuantitas dan kualitas pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, air bersih) sebelum dan setelah desentralisasi di kota Padang. Meskipun terdapat peningkatan jumlah fasilitas pelayanan setelah desentralisasi, namun peningkatan tersebut belum mampu meningkatkan kualitas pelayanan secara optimal.
g.      Terdapat beberapa kelemahan yang melekat pada DPRD kota Padang yang lama, terutama dalam menjaring dan menanggapi aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, DPRD kota Padang belum dapat menanggapi aspirasi, kebutuhan dan kepentingan masyarakat sebagaimana mestinya. Akan tetapi DPRD yang sekarang ini tampaknya memiliki komitmen dan kemauan politik untuk berubah,baik dalam menyerap aspirasi masyarakat maupun dalam masalah efisiensi dan efektifitas penggunaan anggaran.
h.      LAKIP yang disampaikan pemerintah kota Padang kelihatannya masih relatif sedikit dalam mengemukakan tentang dampak kegiatan terhadap pembangunan masyarakat. Oleh sebab itu, LAKIP yang disusun oleh pemerintah kota Padang belum tepat disebut sebagai laporan pertanggungjawaban kinerja, tetapi tidak lebih dari laporan pelaksanaan kegiatan oleh masing-masing instansi pelaksana di lingkungan pemerintah kota Padang setiap tahunnya.
i.        Beberapa kerjasama yang dilakukan dengan berbagai pihak dan terobosan kebijakan oleh pemerintah kota Padang kelihatannya belum maksimal. Sementara daerah lain, seperti kabupaten Tanah Datar dan kota Sawahlunto telah melakukan berbagai terobosan untuk membangun daerah dan meningkatkan efisiensi anggaran dan efektifitas pelayanan publik. Berdasarkan perkembangan yang terjadi saat ini, maka kota Padang dapat dikatakan agak tertinggal dalam melakukan inisiatif dan terobosan kebijakan pembangunan ekonomi. Konsekuensinya angka pengangguran dan kemiskinan terus mengalami peningkatan sesudah desentralisasi.
j.        Perda yang berkaitan dengan pajak daerah dapat dikatakan tidak bermasalah dan menimbulkan berpengaruh negatif terhadap kegiatan ekonomi daerah. Namun demikian terdapat tiga Perda yang berkaitan dengan Retribusi Perizinan tertentu dapat dikategorikan sebagai perda yang dapat menghambat kegiatan atau tidak mendorong kegiatan ekonomi daerah. Karena ini Perda ini merupakan salah satu hambatan dalam memulai usaha, maka ketiga Perda tersebut perlu direvisi atau dibatalkan.
k.      Setelah desentralisasi Pemda kota Padang juga sudah memberikan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah, yaitu kecamatan dan kelurahan untuk memungut retribusi IMB. Disamping itu Pemda kota Padang juga telah mengalokasikan sejumlah dana untuk mendukung pengembangan sumber daya yang ada di tingkat kecamatan dan kelurahan tersebut. Hal ini dimaksudkan dalam rangka mendorong pengembangan ekonomi lokal (ekonomi kerakyatan).

VI.2. Rekomendasi
Sesuai dengan kesimpulan dari hasil pembahasan ini ini, maka dapat direkomendasikan beberapa hal berikut:
a.       Alokasi anggaran untuk mendukung beberapa sektor unggulan (industri, perdagangan dan pariwisata) hendaklah dilakukan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel sehingga membawa dampak yang signifikan bagi pembangunan kota Padang.
b.      Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengalokasikan anggaran secara efektif dan efisien adalah dengan jalan merampingkan lagi SOTK  yang telah dirubah pada tahun 2004 dengan mengurangi jabatan eselon serasional mungkin. Kemudian pemerintah kota Padang juga dapat melakukan terobosan yang telah dilaksanakan oleh Pemda lainnya seperti kabupaten Tanah Datar, kota Sawahlunto dan kabupaten Solok, terutama dari sisi efisiensi dan effektifitas penggunaan anggaran daerah.
c.       Fokus penggunaan anggaran sebelum dan setelah desentralisasi yang  lebih banyak untuk pembangunan fisik hendaklah dirubah, sehingga dapat digunakan untuk mendukung kerjasama baik antar daerah, dengan pihak swasta, maupun perguruan tinggi dalam mendorong pembangunan ekonomi kota Padang.
d.      Kegiatan-kegiatan yang ditetapkan pada setiap bidang pembangunan, terutama bidang pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, dan air minum) perlu dilaksanakan secara konsisten, sehingga tujuan dari masing-masing bidang pembangunan dapat dicapai.
e.       Untuk meningkatkan kualitas pelayanan dasar dan percepatan pembangunan di kota Padang maka inisiatif dan upaya-upaya kerjasama dan kemitraan yang sudah dibangun oleh Pemda dengan investor, perguruan tinggi, lembaga internasional, LSM dan lembaga lainnya perlu lebih ditingkatkan.
f.       Sistem kerja DPRD kota Padang dalam menjaring aspirasi masyarakat dan menanggapi kebutuhan pembangunan bagi masyarakat perlu mengalami perubahan. Pertama, DPRD kota Padang  perlu membuat dokumentasi tentang aspirasi dan masukan yang disampaikan masyarakat. Kedua, DPRD kota Padang perlu membuat laporan tertulis tentang hasil kunjungan kerja dan disampaikan kepada instansi yang relevan untuk ditindaklanjuti.
g.      Pendelegasian wewenang kepada kelurahan dan kecamatan dalam pemungutan beberapa komponen pajak dan retribusi daerah perlu ditingkatkan dan didukung dengan penyediaan sarana dan sumber daya manusia yang memadai.
h.      Dalam rangka mendorong pengembangan ekonomi lokal, maka identifikasi potensi sumber daya lokal, stakeholders yang terkait, serta pembentukan tim task for perlu dilakukan.
i.        Supaya hasil kajian ini tidak hanya menjadi dokumen saja, maka sebaiknya dilakukan pelatihan dan pendampingan dalam rangka meningkatkan kapasitas aparatur (capacity building).






















 

DAFTAR BACAAN



Alm, James and Roy Bahl (1999), Decentralization in Indonesia: Prospeccts and Problem, Department of Economics, Then School of Policy Studies, Georgia State University.
Alm, James, Robert H. Aten, Roy Bahl (2001), “Can Indonesia Decentralise Successfully?: Plans, Problem and Prospect”, Bulletin of Indonesian Economics Studies, 37(1):83-102.
Bahl, Roy (2000), Implementation Rules for Fiscal Decentralization, Fiscal Decentralization Trainimg Program, Fiscal Decentralization in Developing and Transition Economies, Worl Bank Institute, Georgia State University, Atlanta, Georgia, USA.
Davey, Kenneth (1988), Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-Praktek Internasional dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga, terjemahan Amanullah, dkk, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Mc Lure Jr, Charle E (1995), “Comment on The Dangers of Decentralization”, Research Observer, 10(2):221-26.
Prud’homme, R’emy (1995), “The Dangers of Decentralization” Research Observer, 10(2):201-20.
Ray, David (2002), Perda Bermasalah dan Review Regulasi, paper presented at Workshop on Fiscal Policy for Regional Development on Decentralization Era, Medan, 14-16 May.
Ray, David and Gary Goodpaster (2001), Policies and Institutions tu Ensure Free Trade Under Decentralization, paper presented at the PEG/ SAID One Day Conference on ‘Domestic Trade, Decentralization and Globalization’, Borobudur Hotel, April 3nd 2001.
Robert A Simanjuntak,    Berbagai Isu Daerah di Era Desentralisasi,    Merchantile Athtletic Club-World Trade Center,  Jakarta,  Mei 7th 2003.
Rondinelli, Dennis et.al.(2000), Decentralization: What and Why ?, Fiscal Decentralization Training Program, Fiscal Decentralization in Developing and Transition Economies, World Bank Institute, Georgia State University, Atlanta, Georgia, USA.
Syahruddin dan Werry Darta Taifur (2002), Peranan DPRD Untuk Mencapai Tujuan Desentralisasi dan Perspektif Daerah Tentang Pelaksanaan Desentralisasi: Kasus Propinsi Sumatera Barat, IRIS dan Pusat Studi Kependudukan Universitas Andalas (laporan Penelitian).
Syahruddin (2003), Konsep Anggaran Kinerja di Indonesia, Pusat Studi Kependudukan Universitas Andalas, Indonesia.
Todd, Douglas (2001), Benefit of Free Internal Trade : Lessons from the UE International Market Program, paper presented at the PEG/ SAID One Day Conference on ‘Domestic Trade, Decentralization and Globalization’, Borobudur Hotel, April 3nd 2001.
World Bank (1999), Decentralization: Rethinking Government, Chapter 5.
World Bank (2000), World Development Report 2000/ 2001: Attacking Poverty, New York: Oxford University Press.



[1] - Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah
   - Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2001 Tentang Retribusi Daerah.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Repbulik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997


[2]  Paling tidak terdapat 5 fungsi anggaran daerah (Badan Diklat Departemen Dalam Negeri, 2003): (a) Alat penentu pendapatan dan belanja, (b) alat kebijakan dan perencanaan, (c) anggaran sebagai alat manajemen pelaksana,  (d) sebagai alat pengendalian dan pengawasan, dan (e) sebagai alat pertanggungjawaban (akuntabilitas).