Laman

Minggu, 22 Desember 2013

KESIAPAN MASYARAKAT INDONESIA MENUJU MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015

Oleh :
Yopi Eka Anroni, SE, ME.

Indonesia adalah salah satu Negara terbesar populasinya yang ada di kawasan ASEAN. Masyarakat Indonesia adalah Negara Heterogen dengn berbagai jenis suku, bahasa dan adat istiadat yang terhampar dari Sabang sampai Merauke. Indonesia mempunyai kekuatan ekonomi yang cukup bagus, pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia (4,5%) setelah RRT dan India. Ini akan menjadi modal yang penting untuk mempersiapkan masyarakat Indonesia menuju AEC tahun 2015.

Sebagai salah satu dari tiga pilar utama ASEAN Community 2015, ASEAN Economic Community yang dibentuk dengan misi menjadikan perekonomian di ASEAN menjadi lebih baik serta mampu bersaing dengan Negara-negara yang perekonomiannya lebih maju dibandingkan dengan kondisi Negara ASEAN saat ini. Selain itu juga dengan terwujudnya ASEAN Community yang dimana di dalamnya terdapat AEC, dapat menjadikan posisi ASEAN menjadi lebih strategis di kancah Internasional, kita mengharapkan dengan  dengan terwujudnya komunitas masyarakat ekonomi ASEAN ini dapat membuka mata semua pihak, sehingga terjadi suatu dialog antar sektor yang dimana nantinya juga saling melengkapi diantara para stakeholder sektor ekonomi di Negara-negara ASEAN ini sangat penting.  Misalnya untuk infrastruktur, jika kita berbicara tentang infrastruktur mungkin Indonesia masih sangat dinilai kurang, baik itu berupa jalan raya, bandara, pelabuhan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini kita dapat memperoleh manfaat dari saling tukar pengalaman dengan anggota ASEAN lainnya.

Jika dilihat dari sisi demografi Sumber Daya Manusia-nya, Indonesia dalam menghadapi ASEAN Economic Community ini sebenarnya merupakan salah satu Negara yang produktif. Jika dilihat dari faktor usia, sebagian besar penduduk Indonesia atau sekitar 70% nya merupakan usia produktif. Jika kita lihat pada sisi ketenaga kerjaan kita memiliki 110 juta tenaga kerja (data BPS, tahun 2007), namun apakah sekarang ini kita utilize dengan tenaga kerja kita yang berjumlah sekitar 110 juta itu.

Untuk itu kita harus mampu meningkatkan kepercayaan diri bahwa sebetulnya apabila kita memiliki kekuatan untuk bisa bangkit dan terus menjaga kesinambungan stabilitas ekonomi kita yang sejak awal pemerintahan Presiden Susilo Bamabang Yudhoyono ini terus meningkat, angka kemiskinan dapat ditekan seminim mungkin, dan progres dalam bidang ekonomi lainnya pun mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Dengan hal tersebut banyak sekali yang bisa kita wujudkan terutama dengan merealisasikan ASEAN Economy Community 2015 nanti. Stabilitas ekonomi Indonesia yang kondusif ini merupakan sebuah opportunity dimana Indonesia akan menjadi sebuah kekuatan tersendiri, apalagi dengan sumber daya alam yang begitu besar, maka akan sangat tidak masuk akal apabila kita tidak bisa berbuat sesuatu dengan hal tersebut.

Melihat kondisi ekonomi Indonesia yang stabil dan mengalami peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun belakangan ini, saya menyimpulkan bahwa mengenai kesiapan Indonesia dalam menyongsong ASEAN Economic Community, bisa dikatakan siap, dapat dilihat dari keseriusan pemerintah dalam menangani berbagai masalah pada bidang ekonomi baik itu masalah dalam negeri ataupun luar negeri.

Selain itu, posisi Indonesia sebagai Chair dalam ASEAN pada tahun 2012 ini berdampak sangat baik untuk menyongsong terealisasinya ASEAN Economic Community. Dari dalam negeri sendiri Indonesia telah berusaha untuk mengurangi kesenjangan ekonomi Kesenjangan antara pemerintah pusat dengan daerah lalu mengurangi kesenjangan antara pengusaha besar dengan UKM dan peningkatan dalam beberapa sektor yang mungkin masih harus didorong untuk meningkatkan daya saing.

Berkaca pada salah satu statement ASEAN Community bahwa “Masyarakat ASEAN 2015 adalah Warga ASEAN yang cukup sandang pangan, cukup lapangan pekerjaan, pengangguran kecil tingkat kemiskinan berkurang melalui upaya penanggulangan kemiskinan yang kongkrit.” Pemerintah Indonesia sampai dengan pada saat ini terus berusaha untuk mewujudkan masyarakat Indonesia itu sendiri makmur dan berkecukupan sebelum memasuki AEC kelak.

ASEAN pada awalnya hanyalah sebuah organisasi regional yang bentuk kerjasamanya loose atau tidak longgar, namun dengan adanya ASEAN Charter maka Negara-negara ASEAN ini membentuk suatu masyarakat ASEAN yang mempunyai tiga pilar utama yaitu, ASEAN Economic Community, ASEAN Security Community, ASEAN Socio-Cultural Community dengan tujuan terciptanya stabilitas, perdamaian dan kemakmuran bersama di kawasan. Pada awalnya ASEAN Community ini akan diwujudkan pada tahun 2020, namun di percepat menjadi tahun 2015 yang mana waktu realisasinya tinggal 3 tahun lagi.

ASEAN Economic Community (AEC) sebenarnya merupakan bentuk integrasi ekonomi yang sangat potensial di kawasan maupun dunia. Barang, jasa, modal dan investasi akan bergerak bebas di kawasan ini. Integrasi ekonomi regional memang suatu kecenderungan dan keharusan di era global saat ini. Hal ini menyiratkan aspek persaingan yang menyodorkan peluang sekaligus tantangan bagi semua negara. Skema AEC 2015 tentang ketenagakerjaan, misalnya, memberlakukan liberalisasi tenaga kerja profesional papan atas, seperti dokter, insinyur, akuntan dsb. Celakanya tenaga kerja kasar yang merupakan “kekuatan” Indonesia tidak termasuk dalam program liberalisasi ini. Justru tenaga kerja informal yang selama ini merupakan sumber devisa non-migas yang cukup potensional bagi Indonesia, cenderung dibatasi pergerakannya di era AEC 2015.

Ada tiga indikator untuk meraba posisi Indonesia dalam AEC 2015. Pertama, pangsa ekspor Indonesia ke negara-negara utama ASEAN (Malaysia, Singapura, Thailand, Pilipina) cukup besar yaitu 13.9% (2005) dari total ekspor. Dua indikator lainnya bisa menjadi penghambat yaitu menurut penilaian beberapa institusi keuangan internasional - daya saing ekonomi Indonesia jauh lebih rendah ketimbang Singapura, Malaysia dan Thailand. Percepatan investasi di Indonesia tertinggal bila dibanding dengan negara ASEAN lainnya. Namun kekayaan sumber alam Indonesia yang tidak ada duanya di kawasan, merupakan local-advantage yang tetap menjadi daya tarik kuat, di samping jumlah penduduknya terbesar yang dapat menyediakan tenaga kerja murah.

Sisa krisis ekonomi 1998 yang belum juga hilang dari bumi pertiwi, masih berdampak rendahnya pertumbuhan investasi baru (khususnya arus Foreign Direct Investment) atau semakin merosotnya kepercayaan dunia usaha, yang pada gilirannya menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Hal tersebut karena buruknya infrastruktur ekonomi, instabilitas makro-ekonomi, ketidakpastian hukum dan kebijakan, ekonomi biaya tinggi dan lain-lain. Pemerintah tidak bisa menunda lagi untuk segera berbenah diri, jika tidak ingin menjadi sekedar pelengkap di AEC 2015. Keberhasilan tersebut harus didukung oleh komponen-komponen lain di dalam negeri. Masyarakat bisnis Indonesia diharapkan mengikuti gerak dan irama kegiatan diplomasi dan memanfaatkan peluang yang sudah terbentuk ini.

 Diplomasi Indonesia tidak mungkin harus menunggu kesiapan di dalam negeri. Peluang yang sudah terbuka ini, kalau tidak segera dimanfaatkan, kita akan tertinggal, karena proses ini juga diikuti gerak negara lain dan hal itu terus bergulir. Kita harus segera berbenah diri untuk menyiapkan Sumber Daya Manusia Indonesia yang kompetitif dan berkulitas global. Menuju tahun 2015 tidaklah lama, Sudah siapkah kita akan Tantangan dan peluang bagi kalangan profesional muda kita/mahasiswa untuk tidak terbengong-bengong menyaksikan lalu-lalang tenaga asing di wilayah kita?.

Tantangan Indonesia kedepan adalah mewujudkan perubahan yang berarti bagi kehidupan keseharian masyarakatnya. Semoga seluruh masyarakat Indonesia kita ini bisa membantu untuk mewujudkan kehidupan ekonomi dan sosial yang layak agar kita bisa segera mewujudkan masyarakat ekonomi ASEAN tahun 2015.

Selasa, 19 November 2013

CAPRES DAN KOMITMEN PEMBERANTASAN KORUPSI

oleh :
YOPI EKA ANRONI, SE, ME

Di negeri ini, pemberantasan korupsi bisa dikatakan sebagai isu yang relatif permanen. Dari era Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono, sejak Republik berdiri hingga saat ini, agenda pemberantasan korupsi tetap ada, seolah tak lekang waktu.

Mengapa demikian? Pertama, karena kasus korupsi memang terus marak dari waktu ke waktu. Sepanjang ada kasus—apalagi dalam skala besar—sepanjang sepanjang itu pula pemberantasan korupsi terus menjadi prioritas agenda.

Maraknya korupsi itu misalnya bisa dilihat dari pemberitaan di media massa, dari kasus melimpah yang ditangani para penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta dari laporan lembaga-lembaga anti korupsi—baik dalam maupun luar negeri—yang setiap tahun mengeluarkan indeks korupsi di berbagai negara.

Kedua, karena setiap pemerintahan yang baru berkuasa, selalu mencanangkan pemberantasan korupsi sebagai agenda prioritas, namun dalam pelaksanaannya tidak ada yang terbukti berjalan dengan baik. Kalaupun ada (dijalankan) biasanya tidak tuntas, apalagi saat kasus yang dihadapi mulai menyentuh jantung kekuasaan.

Masih segar dalam ingatan kita, saat pertama kali memerintah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan komitmen di hadapan publik akan memberantas korupsi mulai dari pintu Istana. Tapi, bagaimana faktanya? Ada yang mengatakan komitmen itu sebatas untuk menanamkan citra bahwa rezim ini anti-korupsi.

Dalam perjalanan sejarahnya, muncul sejumlah dugaan, keluarga Istana bahkan disebut-sebut terlibat dalam kasus-kasus korupsi seperti dalam proyek pengadaan sarana olahraga di bukit Hambalang, dan dalam kasus kebijakan impor daging sapi.

Ketiga, sudah banyak undang-undang yang sengaja dirancang dan ditetapkan khusus untuk menangani kasus-kasus korupsi. Tapi dalam pelaksanaannya, selain melibatkan banyak aparat penegak hukum, juga kerap diimplementasikan secara tidak adil.

Pedang keadilan biasanya hanya tajam ke bawah, namun tumpul ketika diarahkan ke atas. Jika yang melakukan rakyat biasa, pencurian barang senilai puluhan ribu rupiah pun bisa mendapatkan hukuman berat, tapi jika yang melakukan adalah orang kuat, baik secara ekonomi maupun politik, hukumannya bisa ditangguhkan atau terus-menerus mendapatkan potongan, atau bahkan bisa dibebaskan dari segala tuntutan.

Komitmen Capres
Mencermati persoalan di atas, menurut saya, setiap calon presiden, baik yang sudah ditetapkan partainya maupun yang kini mengikuti Konvensi Capres Partai Demokrat, harus punya komitmen jelas untuk menjadikan pemberantasan korupsi sebagai salah satu agenda prioritasnya saat terpilih menjadi presiden.

Kejelasan komitmen itu misalnya ditandai dengan, pertama, tencantumnya agenda dan pencapaian pemberantasan korupsi secara jelas dalam hitungan waktu tertentu sehingga publik bisa mengevaluasi secara objektif apakah agenda itu sudah dijalankan dengan baik atau tidak.

Kedua, dengan membuat kesepakatan anti-korupsi di hadapan publik, misalnya dengan menandatangani pakta integritas yang baik secara hukum maupun politik, bisa dipertanggungjawabkan disertai dengan adanya sanksi atau implikasi politik yang harus dihadapi saat pakta integritas itu gagal diimplementasikan.

Ketiga, yang tidak kalah penting adalah memulai dari diri sendiri. Setiap capres harus mampu membuktikan di hadapan publik bahwa dirinya merupakan sosok yang bersih dari korupsi, antara lain dengan mengumumkan harta kekayaan yang dimiliki berikut asal usulnya, dan dengan kesediaan untuk ditelusuri track record dan atau riwayat hidupnya.

Ada pepatah yang mengatakan “ikan membusuk dimulai dari kepalanya”. Komitmen suatu rezim untuk memberantas korupsi harus dimulai dari diri sendiri. Seorang presiden harus mampu membuktikan diri dan keluarganya merupakan sosok-sosok bersih, anti-korupsi. Saat Presiden dan atau keluarganya terbukti korup, rakyat tentu akan dengan mudah meniru atau setidak-tidaknya punya alasan untuk ikut-ikutan korupsi.

Kecerdasan Pemilih

Setiap korupsi terjadi karena ada kerja sama antara kedua belah pihak, pihak yang menjalankan korupsi dengan pihak yang bersedia barangnya dikorupsi, ada pihak yang mau menyuap dan yang mau disuap. Jika yang terjadi hanya kemauan satu pihak, namanya bukan lagi korupsi, tapi mencuri.

Oleh karena itu, komitmen untuk menjalankan agenda pemberantasan korupsi harus dijalankan kedua belah pihak, rezim yang memimpin dan rakyat yang dipimpin. Tak ada gunanya capres punya komitmen jika rakyat tak memiliki komitmen yang sama.

Jika para capres sudah berkomitmen untuk memprioritaskan agenda pemberantasan korupsi dengan menempuh ketiga langkah di atas, yang dibutuhkan kemudian adalah komitmen publik atau para pemilih untuk benar-benar memilih capres yang sesuai, yakni berjanji akan menjalankan komitmennya.

Kecenderungan apakah seorang capres di kemudian hari (setelah terpilih) akan menjadi koruptor atau tidak, bagi pemilih yang cermat dan cerdas, tentu bisa diketahui tanda-tandanya dari awal, dari mulai proses penjaringan capres, saat kampanye, dan saat hari pencoblosan. Jika dalam semua proses ini diwarnai penyuapan dan kecurangan, tentu capres seperti ini tidak layak dipilih.

Kemauan dan kecerdasan pemilih menjadi penting untuk merealisasikan agenda pemberantasan korupsi dalam proses penentuan dan pemilihan capres. Para pemilih seyogianya tahu secara pasti capres seperti apa yang layak atau tidak layak dipilih.

PEMILU UNTUK MELAHIRKAN PAHLAWAN BARU

 oleh :
 Yopi Eka Anroni,SE,ME

Pahlawan merupakan sosok yang berjuang keras memberikan inspirasi dan melakukan perubahan tanpa pamrih di bidang-bidang itu diberi gelar pahlawan sesuai dengan bidang yang digelutinya. Kepahlawanan mereka, menurut saya, tak kalah penting dan mulia dari pahlawan-pahlawan “resmi” yang diangkat pemerintah melalui surat keputusan presiden.

Tantangan yang ada di era Reformasi ini tak kalah berat dan rumit dibandingkan dengan era penjajahan dan era awal kemerdekaan. Mengapa demikian? Ini karena di era ini tantangan memiliki wajah yang sangat kompleks, dari yang terlihat hingga yang tidak terlihat.Misalnya, tantangan kemajuan teknologi yang berdampak pada berbagai sektor. Ini membutuhkan sosok-sosok pejuang agar semuanya tetap berada pada koridor yang konstruktif

Hal yang paling sulit diantisipasi tentu saja tantangan di bidang teknologi informasi. Ini karena perkembangannya merasuk ke ruang-ruang kehidupan kita melalui alam maya. Ruang geraknya tak terbatas, bahkan melintasi multidimensi hingga merasuk ke ruang bawah sadar kita.Di sinilah kita membutuhkan pahlawan-pahlawan baru yang mampu mengantisipasi, menguasai, dan mengembangkan teknologi informasi ke arah perubahan yang lebih konstruktif dan bermanfaat bagi kemajuan bersama sebagai suatu bangsa.
Hal yang tidak kalah penting adalah perjuangan di bidang politik karena era Reformasi identik dengan era pembaruan politik.

Meskipun para founder negeri ini telah menetapkan Indonesia sebagai negara hukum—artinya hukumlah yang menjadi panglima dalam mengatasi berbagai permasalahan kebangsaan— tetapi secara sistemik setiap perangkat hukum selalu lahir dari keputusan politik. Oleh karena itu, para pahlawan pembaruan di bidang politik selalu lebih menonjol daripada pahlawan di bidang hukum

Fungsi Pemilu
Pada saat menjelang pemilihan umum (pemilu) seperti saat ini, tampilnya pahlawan perubahan di bidang politik menjadi sangat penting dan urgen karena pemilu merupakan momentum yang secara hukum dianggap sah untuk memilih sosok baru dalam mengisi dan memimpin lembaga-lembaga politik, terutama di bidang legislatif dan eksekutif.

Legislatif adalah lembaga politik yang melahirkan perangkat-perangkat hukum, sedangkan eksekutif adalah lembaga politik yang bertanggung jawab atas pelaksanaan setiap perangkat hukum yang dilahirkan lembaga legislatif.Hadirnya pahlawan di kedua lembaga ini akan menentukan pembaruan di segala bidang. Arah kebijakan hukum, ekonomi, sosial, pertahanan, dan keamanan akan sangat bergantung pada tokoh yang akan kita pilih dalam pemilu. 

Akankah pemilu berfungsi melahirkan pahlawan-pahlawan perubahan yang konstruktif bagi kemajuan bangsa ini? Jawabannya ada pada kita semua.Tampilnya para politikus yang gagal menjalankan fungsinya, bahkan banyak di antaranya yang destruktif bagi kemajuan bangsa, seyogianya bisa menjadi pelajaran mahapenting: Jangan sampai pemilu mendatang menghasilkan para pejabat serupa, apalagi jika yang terpilih adalah mereka yang lebih bejat dari sebelumnya. 

Merugilah bangsa ini jika pemilu gagal melahirkan pahlawan-pahlawan baru yang lebih baik dari era sebelumnya. Untuk menghindari kemungkinan menjadi bangsa yang merugi, kita membutuhkan kejelian pada saat memilah dan memilih para calon pemimpin.

Pilihlah mereka yang memiliki kriteria yang mendukung kemajuan. Selain kompetensi (asas meritokrasi), hal yang tidak kalah penting adalah integritas moral dan kepeduliannya pada rakyat yang telah memilihnya.
Ibarat ikan yang membusuk dari kepalanya, hancurnya bangsa ini terutama disebabkan minusnya integritas moral para pemimpinnya. Oleh karena itu, dalam pemilu pilihlah mereka yang selain mumpuni dalam memimpin, juga layak menjadi pahlawan-pahlawan baru yang mampu memajukan bangsanya.

Sabtu, 09 November 2013

Pendidikan adalah Alat Pembebasan dan Harkat Kemanusiaan

Oleh : 
Yopi Eka Anroni, SE, ME
(Pengamat Ekonomi Politik Kota Bekasi)

Aristoteles  sudah  sejak  lama  mengingatkan,  bahwa “akar pendidikan itu pahit, tapi buahnya manis.” Lihatlah bagaimana sebagian besar prang tua kita, rela bersusah payah membanting tulang, menjual tanah dan sawah, hanya sekedar agar keturunannya bernasib lebih baik daripada mereka. Tentu kita semua sadar, bagaimana profesi guru menjadi pilihan banyak orang-orang baik, yang rela digaji rendah demi menularkan ilmu pengetahuan sebagai pengabdian pada kehidupan.

Lalu apa yang salah dari kita? Pendidikan seolah-olah hanya menahirkan manusia-manusia robot yang mengejar upah tinggi tanpa pernah peduli pada sesama. Pendidikan Indonesia seakan hanya dirancang untuk menghasilkan pekerja-pekerja yang mengabdikan hidupnya di kantor-kantor mewah dan di pabrik-pabrik. Pendidikan kita hanya menghasilkan manusia yang dikepalanya menghapalkan jutaan teori-teori, tanpa pernah menghasilkan teori dari bumi tanah airnya sendiri. Pendidikan kita bisa menghasilkan pelayan-pelayan yang pintar, tapi gagal mencetak manusia-manusia cerdas yang merdeka.

Kita dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa kepahitan yang kita alami sekarang adalah merupakan takdir yang tidak terhindarkan. Kepahitan yang ada sekarang adalah buah dari “akar-akar pendidikan palsu” yang telah kita taburkan di masa lalu. Pendidikan palsu itu memuja segala sesuatu yang palsu, mulai dari angka statistik palsu, laporan palsu, skripsi palsu, senyum palsu, sistem keuangan palsu, reputasi palsu, perusahaan dan industri palsu, dan sekaligus melibatkan pendidik-pendidik palsu, gelar palsu, mata kuliah dan kurikulum palsu, dan semua imitasi lainnya.

Kita harusnya mulai mengakui, bahwa kita semua telah salah memilih pupuk sistem pendidikan di masa yang lalu, dan karenanya kini memanen buah pendidikan yang tidak bisa bersaing dengan bangsa-bangsa yang lain. Kita kini hidup dalam sebuah sistem pendidikan yang mencetak generasi individualistik. Keadaan yang jelas sangat memasung nilai-nilai gotong royong warisan nenek moyang kita. Pelajar dan mahasiswa kita hanya disibukkan dengan jadwal kuliah yang padat, serta pekerjaan rumah yang padat pula. Setelah lulus usia mereka sudah terlambat untuk memulai bagaimana hidup dengan berkarya dari hasil pemikiran dan keringat sendiri, satu-satunya jalan adalah segera mencari pekerjaan dengan upah berapapun dan dimanapun.
 
Demikianlah Pendidikan Nasional kita tidak lagi mampu mencetak kader-kader bangsa sehebat Soekarno, Hatta, Syahrir dll., belum apa-apa mereka telah dijerat dengan berbagai embel-embel negatif, narkoba, komunis, anarkis dsb. Jangan heran bila Universitas sekarang hanya menghasilkan kelompok militan muda yang suka berperang antar fakultas, suka mabuk-mabukan, suka memalsukan tanda tangan. Inilah generasi yang hilang, the lost generation, inilah keterasingan yang lahir dari jantung sistem pendidikan kita.
Sekolah dan kampus sejatinya tidak di desain untuk mencetak manusia penghapal teori, tapi sekolah dan kampus harus penjadi garda terdepan untuk mencetak manusia Indonesia yang bisa melahirkan teorinya sendiri, teori untuk bangsanya sendiri, dan teori untuk kemaslahatan seluruh manusia di muka bumi.

Kita sekali lagi, harus mengakui bahwa kita sama-sama telah menempuh jalan yang salah. Saatnya kita merubah keadaan, jangan salahkan generasi muda kita karena suka membolos, ini akibat sekolah dan kampus yang tak lagi menjadi alat pencerahan dan pemenuh dahaga pengetahuan. Jangan salahkan si miskin jika harus turun ke jalan-jalan, karena biaya pendidikan yang melambung tinggi. Jangan salahkan petani yang tak mampu menghasilkan panen melimpah, karena anak-anak yang mereka sekolahkan tak satupun kembali ke desa mengajarkan mereka bagaimana pertanian yang baik.

Jangan salahkan guru-guru kita jika tidak mengajarkan ilmu pengetahuan dengan benar, karena sistem pendidikan yang tidak memberikan fasilitas yang baik bagi mereka. Jangan cari tahu, mengapa pelajar dan mahasiswa terlibat tawuran, karena sesungguhnya dalang semua itu adalah kesalahan kita dalam mendidik mereka.

Negara juga harus kembali menerapkan kepercayaan, bahwa teori yang baik bukanlah teori yang tebal dan panjang untuk dihapalkan. Teori yang baik adalah teori yang bisa dipraktekkan. Untuk itu universitas harus mengajarkan gerakan kembali ke desa, sehingga Jakarta dan kota-kota lainnya tidak menjadi satu-satunya tujuan akhir peserta didik. Desa adalah masa depan bangsa Indonesia.

Desa adalah benteng terakhir peradaban manusia Indonesia seutuhnya. Orang tua kita telah membayar mahal biaya pendidikan kita, sawah-sawah pelan-pelan digusur oleh industrialisasi. Ternak kakek dan nenek kita satu per satu di jual untuk menyekolahkan kita. Maka , marilah kita persembahkan penghargaan setinggi-tingginya, pada semua orang-orang tua di Indonesia, atas segala keringat yang dikucurkan, atas segala air mata yang diteteskan, atas setiap jengkal tanah yang telah mereka ikhlaskan untuk pendidikan bangsa ini.

Sabtu, 15 Juni 2013

Mengangkat Pamor Lembaga Legislatif

Oleh : Yopi Eka Anroni
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Trisakti

Banyak jalan menuju Roma, banyak cara untuk memilih calon anggota DPR yang berkualitas yang bisa mengangkat pamor lembaga legislatif. Mengingat pada periode ini terpuruk terutama karena banyaknya kasus korupsi yang melibatkan anggotanya.
 
Pemilihan umum (pemilu) yang digelar lima tahun sekali merupakan momentum untuk meningkatkan kualitas dan popularitas anggota DPR. Itu karena hanya melalui pemilu, anggota DPR bisa dipilih secara bersama-sama untuk mengisi seluruh kursi yang tersedia.

Pemilu menjadi satu-satunya momentum karena dalam sistem politik yang berlaku di negeri kita, tak ada pemilihan selain yang bisa menggantikan sebagian anggota DPR yang ada. Kita hanya mengenal pergantian antarwaktu (PAW) untuk anggota DPR yang mengundurkan diri, berhenti (dengan berbagai sebab), dan meninggal dunia.

Dengan hanya 12 partai politik nasional yang berhak mengikuti Pemilu 2014, tingkat persaingan memperebutkan suara pemilih akan jauh lebih ketat dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya.
Aroma persaingan bahkan sudah tampak ketat saat penetapan nama-nama daftar calon anggota legislatif (caleg). Karena jumlah partai yang sedikit, ada persaingan menjadi caleg. Kabarnya, pendaftar caleg di partai-partai pada umumnya melonjak hingga tiga sampai empat kali lipat dari yang dibutuhkan. Hal ini memaksa partai-partai harus menyeleksi secara ketat caleg-caleg yang diajukan.

Perpaduan integritas, kualitas, dan popularitas caleg seyogianya menjadi pertimbangan utama. Pertama, integritas berkaitan dengan kepribadian dan moralitas.

pemilu602269Untuk mendeteksinya, setiap bakal caleg bisa diteliti latar belakang dan perjalanan aktivitasnya. Jika terindikasi pernah terlibat korupsi atau pernah melakukan tindakan-tindakan yang tak terpuji maka bakal caleg yang bersangkutan tak bisa diloloskan menjadi caleg.

Kedua, kualitas berkaitan dengan latar belakang pendidikan, wawasan, kreativitas, serta pengalaman dalam mewarnai wacana yang konstruktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Cara mendeteksinya, selain dengan melihat (keaslian) ijazah dan piagam penghargaan yang pernah diperoleh, juga bisa dilacak melalui “mesin pencari” di jagat maya yang tentu akan menyimpan dengan baik peran-peran sosial politik seseorang.

Ketiga, popularitas berkaitan dengan tingkat akseptabilitas caleg. Kalau modalnya hanya populer tapi tidak akseptabel tidak ada gunanya. Populer yang disebabkan karena tingkah polah yang negatif tidak ada artinya untuk mengangkat nama caleg.

Berpadunya tiga faktor ini (integritas, kualitas, dan popularitas) akan menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemilih. Ketika nama baik partai-partai sudah terpuruk, maka nama-nama caleg yang bersih, bermutu, dan populer bisa menutupinya.

Nepotisme
Masalahnya, apakah betul partai-partai sudah menggunakan perpaduan integritas, kualitas, dan popularitas sebagai standar utama penilaian dalam memilih caleg? Tampaknya belum. Nepotisme dan pola bargaining masih menjadi pertimbangan utama.

Jika ada anak, istri, dan menantu kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) atau keluarga pemilik partai, sudah pasti akan menjadi prioritas. Begitupun pemimpin partai-partai yang tak lolos verifikasi dan bergabung dengan partai yang lolos, sudah pasti menjadi pertimbangan.

Soal perpaduan integritas, kualitas, dan popularitas masih menjadi faktor yang kesekian. Banyaknya iklan partai yang berisi pola perekrutan caleg yang terbuka dengan pertimbangan-pertimbangan yang rasional, objektif, dan akuntabel, hanya sekadar pencitraan yang tak sepenuhnya dijalankan.

Jika yang terjadi, dalam perekrutan dan seleksi dilakukan secara tertutup dan cenderung tidak rasional maka pada tahap ini partai-partai sudah gagal, atau setidaknya belum punya niat baik untuk meningkatkan kualitas lembaga legislatif. Padahal peningkatan kualitas lembaga legislatif menjadi poin yang sangat penting dalam proses demokratisasi.

Menurut catatan sejumlah pengamat dan penilaian sejumlah lembaga swadaya masyarakat, kualitas lembaga legislatif periode 2009-2014 tidak jauh lebih baik dari periode sebelumnya (2004-2009). Jika pola perekrutan caleg saat ini tidak menitikberatkan pada integritas, kualitas, dan popularitas, maka kecil kemungkinan akan lahir lembaga legislatif yang lebih baik.

Kalaupun masih ada, harapan itu antara lain ada pada rakyat yang akan memilih para caleg. Kejelian rakyat dalam memilah dan memilih caleg menjadi tumpuan harapan kita akan lahirnya lembaga legislatif yang lebih baik.

Untuk membantu kejelian rakyat dalam menentukan pilihan, dibutuhkan peran aktif kampus, akademikus, aktivis, dan komponen civil society (lembaga swadaya masyarakat, ormas, dan lain-lain) untuk bahu-membahu melakukan pendidikan politik bagi segenap rakyat.

living legend dari empat pilar (Taufik Kiemas Bapak 4 Pilar)

Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, Taufiq Kiemas wafat, selain meninggalkan nama, juga meninggalkan banyak cerita tentang Pancasila.

Pancasila, menurut Taufiq Kiemas, selama dua belas tahun telah kita lupakan. Kata-kata ini beliau ucapkan tahun 2010, saat “empat pilar” mulai disosialisasikan. Empat pilar adalah nomenklatur yang dilahirkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang merujuk pada: (1) Pancasila; (2) Undang Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945; (3) Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (4) Bhinneka Tunggal Ika.
Salah satu tugas  pimpinan MPR, sebagaimana tertuang dalam Undang Undang Nomor 17 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD adalah mengoordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan UUD RI tahun 1945. Dari tugas inilah, pimpinan MPR kemudian merumuskannya dalam “sosialisasi empat pilar kebangsaan”.

Karena kata “empat pilar” lahir pada periode MPR yang dipimpin Taufiq Kiemas maka tak ayal, suami dari Presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputeri, ini kerap dijuluki sebagai “Bapak Empat Pilar”.
Di antara empat pilar yang paling menjadi pusat perhatian Taufiq Kiemas adalah Pancasila, bukan lantaran karena beliau mempunyai hubungan kekerabatan (menantu) Presiden pertama RI, Soekarno, yang pertama kali memperkenalkan rumusan Pancasila, tapi karena dasar negara ini, sebagaimana disinggung di atas, telah dilupakan banyak orang. Padahal Pancasila memiliki nilai strategis terutama dalam menjaga keutuhan bangsa.
Pada saat berkunjung ke Jakarta, November 2010, dalam pidato yang disampaikan di kampus Universitas Indonesia, Depok, Presiden Amerika Serikat Barack Obama memberi apresiasi yang tinggi pada Pancasila. Menurutnya, jika di Amerika ada        E pluribus unum, beragam tapi bersatu, di Indonesia disebut Bhinneka Tunggal Ika, persatuan dalam keberagaman.

Amerika dan Indonesia mampu menyatukan ratusan juta orang yang memiliki kepercayaan berbeda di bawah satu panji-paji. “Itulah semangat Indonesia, itulah pesan yang tertuang dalam Pancasila,” kata Obama dalam pidatonya.Taufiq Kiemas gembira sekali mendengar pidato Obama. Kalau presiden negara adikuasa saja mengapresiasi Pancasila, mengapa kita sendiri yang memilikinya tidak? Karena itu dalam setiap kesempatan berbicara, baik dalam pidato-pidato resmi maupun pada saat berbincang-bincang, politisi yang oleh masyarakat Minangkabau diberi gelar “Datuk Basa Batuah” ini selalu menekankan pentingnya Pancasila dalam kehidupan berbangsa.

Pancasila, dalam pendangan Taufiq, bukan kata keramat yang jauh dari rakyat, tapi dasar bernegara yang harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari seluruh warga masyarakat. Karenanya, ketimbang memperingati Kesaktian Pancasila, 1 Oktober, Taufiq lebih condong memperingati kelahiran Pancasila, 1 Juni.Upayanya mensosialisasikan kelahiran Pancasila 1 Juni bukan tanpa tantangan, banyak kalangan menolak, terutama dari para politisi partai-partai berhaluan Islam. Penolakan itu karena 1 Juni merujuk pada hari pidato pertama Bung Karno mengenai Pancasila, 1 Juni 1945 didepan Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Karena pidato itulah, Pancasila dianggap identik dengan Bung Karno. Dan karena identik dengan Bung Karno, ada beberapa politisi partai Islam yang mengkhawatirkan Pancasila hanya menjadi milik golongan tertentu saja, dalam hal ini, kaum nasionalis pelanjut gagasan Soekarno.

AM Fatwa –yang kurang setuju dengan penetapan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila—misalnya menegaskan dalam banyak kesempatan bahwa Pancasila adalah karya bersama milik bangsa, bukan hak paten suatu golongan saja. Siapa yang dimaksud dengan suatu golongan oleh politisi senior PAN ini, publik sudah mafhum.

Taufiq Kiemas adalah satu dari sedikit tokoh politik yang enggan berkonflik. Ia selalu berusaha menjalin silaturrahmi dengan semua kalangan tanpa membedakan agama, suku, dan partai politik. Dengan sikapnya yang terbuka dan bersahabat dengan siapa saja, kita yakin bahwa nasionalisme yang menjadi landasan perjuangan Taufiq Kiemas bukan untuk satu golongan saja, begitu pun kelahiran Pancasila.

Taufiq Kiemas tak mau menanggapi mereka yang tak setuju hari lahir Pancasila 1 Juni dengan kata-kata, tapi ia lebih memilih tindakan nyata. Setiap datang 1 Juni ia selalu memperingatinya. Bahkan, 1 Juni 2013 lalu, ia berangkat ke Ende –bersama Wapres Boediono—untuk memperingati lahirnya Pancasila sekaligus peresmian situs Bung Karno. Karena kelelahan, sepulang dari Ende beliau langsung diterbangkan menuju salah satu Rumah Sakit di Singapura, untuk dirawat hingga wafat (8/6/2013).

Pancasila, di tangan Taufiq Kiemas, selain menjadi ideologi yang profan, merakyat, juga menjadi ajaran yang mudah diterima oleh semua kalangan. Maka sosialisasi empat pilar yang digagasnya, dinilai banyak kalangan sebagai upaya brilian, yang mengontraskannya dengan indoktrinasi P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) a la Orde Baru.

Karena P-4, banyak generasi baru antipati pada Pancasila dan melupakannya. Banyak aktivis memplesetkan sila-sila Pancasila sehingga dasar negara itu menjadi bahan ledekan. Pancasila diplesetkan menjadi Pancasial.  Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi Keuangan Yang Maha Kuasa, Kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi Kemanusiaan yang labil dan biadab, Persatuan Indonesia menjadi Persatean Indonesia, dan seterusnya. Mengapa demikian? Karena yang diajarkan hanya doktrin yang tidak diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak diberi contoh oleh para pejabat dan para petinggi negara yang memegang amanat rakyat.

Sementara itu banyak kalangan menilai, cara berpolitik Taufiq Kiemas adalah cermin hidup dari Pancasila. Untuk mengimplementasikan sila Ketuhanan, beliau mendorong lahirnya Baitul Muslimin Indonesia, sayap agama dalam PDIP;  untuk mengamalkan sila kedua, beliau selalu memberi bantuan kepada siapa pun yang membutuhkan uluran tangan;  untuk sila ketiga beliau selalu berupaya merajut persatuan dengan semua kalangan; untuk sila keempat beliau senantiasa mendorong musyawarah mufakat dalam setiap momen permusyawaratan; dan untuk sila kelima beliau tak pernah lelah mendorong tegaknya keadilan.

Berbeda dengan indoktrinasi P-4 yang minus keteladanan. 4-P  (empat pilar) benar-benar diamalkan oleh Taufiq Kiemas sendiri sebagai pejabat yang menjadi motor utama sosialisasinya. Karenanya, tak berlebihan jika beliau disebut sebagai living legend dari empat pilar.

Sabtu, 16 Maret 2013

Mewaspadai Kembalinya Gaya Lama

Oleh :
Yopi Eka Anroni
(Mahasiswa Pascasarjana Univ.trisakti)

Pembahasan tentang Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Massa (RUU Ormas) sudah hampir rampung di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun masih ada beberapa persoalan kru­sial yang masih mengganjal, bahkan dianggap sangat des­truktif bagi perkembangan demokratisasi. Karena itu, belum lama ini, puluhan ormas dan LSM yang terga­bung dalam “Koalisi Akbar” menolak RUU Ormas.

Mengapa ditolak, ada banyak alasan. Dalam kolom yang terbatas ini saya hanya akan mengungkapkan tiga saja, yakni pertama soal definisi atau batasan, kedua soal asas, dan ketiga soal kewenangan pemerintah—dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri—untuk membekukan atau membubarkan ormas.

Definisi ormas yang tertuang dalam RUU terlalu luas, baik yang berbasis massa maupun tidak (seperti yayasan), bahkan mencakup di dalamnya semua perkumpulan yang bersifat spesifik seperti kesamaan minat, bakat, hobi, dan lain-lain. Padahal, untuk bisa beraktivitas, ormas harus mendapatkan pengesahan dari pemerintah. Jadi, jika ketentuan ini disahkan, kelompok arisan pun harus disahkan oleh pemerintah. Itu yang pertama.

Kedua, soal asas. Terdapat upaya untuk menyamakan semua asas ormas yakni Pancasila. Meskipun ada ketentuan bisa berasas lain asalkan tidak bertentangan dengan Pancasila, hal ini masih bisa menimbulkan interpretasi yang bermacam-macam karena frase “asal tidak bertentangan” bisa berpotensi menafikan asas lain selain Pancasila. Ormas yang berasaskan keagamaan atau kedaerahan misalnya, sangat mungkin ditafsirkan bertentangan dengan Pancasila.

Ketiga, soal kewenangan pemerintah untuk membekukan atau membubarkan ormas. Ketentuan ini bisa kita pahami karena dilatarbelakangi oleh munculnya ormas-ormas yang meresahkan di tengah-tengah masyarakat. Banyaknya front-front yang cenderung membuat onar dan merusak memunculkan pandangan pentingnya pemerintah menata dan menertibkan ormas. Usulan agar ormas-ormas atau front-front  itu dibubarkan pun merebak di tengah-tengah masyarakat.

Tapi, haruskah pemerintah yang berwenang membekukan atau membubarkan ormas? Inilah persoalan penting yang harus dicermati. Menurut konstitusi (UUD 1945) setiap warga negara dijamin hak-haknya untuk berkumpul, mengeluarkan pendapat, dan lain-lain yang masuk kategori hak-hak asasi. Kewenangan pemerintah untuk membekukan atau membubarkan ormas atau perkumpulan berpotensi melanggar hak-hak asasi manusia.

Ketika ada ormas yang melakukan tindak kekerasan, atau tindak tanduknya meresahkan masyarakat, saya kira hal ini harus dilihat secara jernih, apakah yang meresahkan itu ormas atau perkumpulannya, ataukah oknum orang-orang (aktivis) yang ada di dalamnya? Saya lebih cenderung berpendapat bahwa yang berbuat onar adalah orang-orangnya.

Ormas atau perkumpulan hanyalah alat belaka yang bisa dimanfaatkan untuk kebaikan atau untuk kejahatan. Jika ternyata untuk tindak kejahatan, yang patut disalahkan tentu bukan alatnya, tapi orang yang menggunakannya. Jadi yang harus ditindak secara hukum adalah orang yang memanfaatkannya untuk kejahatan.

Soal syarat pembekuan/pembubaran ormas yang jika dianggap berpotensi menimbulkan perpecahan, atau mengancam persatuan nasional, adalah syarat yang sangat elastis, seperti pasal karet yang bisa ditarik untuk memberangus ormas-ormas. Dengan interpretasi subjektifnya, pemerintah bisa membekukan atau membubarkan ormas kapan saja.

Dengan mencermati ketiga hal ini (belum ketentuan-ketentuan lain yang juga dianggap krusial), kita bisa melihat dengan jelas adanya upaya untuk mengembalikan kekuasaan pemerintah yang otoriter sebagaimana yang telah dipraktikkan rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.

Upaya-upaya untuk mengembalikan gaya lama, yakni dengan cara otoriter dan fasistis dalam berpolitik, harus terus kita waspadai dan sebisa mungkin dicegah sebelum RUU ini benar-benar disahkan DPR. Jika sudah disahkan menjadi undang-undang, memang masih bisa dikoreksi dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tapi jika ini terjadi, sama artinya dengan membuang-buang tenaga dan dana yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk hal-hal lain yang lebih konstruktif.  Oleh karena itu, marilah kita tolak RUU Ormas yang berpotensi mengembalikan kekuatan bergaya lama ini

Langkah Mundur Yudhoyono

Oleh :
Yopi Eka Anroni
(Mahasiswa Pascasarjana Univ.trisakti)

Prediksi lembaga survei tentang menurun drastisnya popularitas dan elektabilitas Partai Demokrat dianggap sebagai dampak langsung dari terjeratnya sejumlah pimpinan partai ini dalam kubangan korupsi. Disebut-sebutnya keterlibatan Ketua Umum Anas Urbaningrum dalam kasus koruspsi proyek Hambalang misalnya, diduga kuat menyebabkan partainya makin terpuruk.

Karena kasus-kasus korupsi yang menjeratnya, kader-kader Partai Demokrat baik di pusat maupun di daerah mengalami proses demoralisasi. Karena itulah, banyak di antara tokoh-tokohnya, terutama dari kalangan para pendiri, menginginkan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil alih tampuk pimpinan Partai Demokrat. Tujuannya untuk mengembalikan kepercayaan publik, untuk mengembalikan integritas dan marwah partai yang sudah tercabik-cabik.
Dan, Presiden Yudhoyono pun menjawab keinginan itu dengan mengambil alih komando kepemimpinan Partai Demokrat namun dengan tanpa menggusur secara formal ketua umumnya. Anas Urbaningrum tetap sebagai Ketua Umum namun tongkat komando ada di tangan Yudhoyono.

Langkah presiden kontan mendapat reaksi beragam di tengah-tengah masyarakat. Umumnya para pengamat menganggap langkah presiden sebagai blunder politik yang tak seharusnya dilakukan. Karena dengan langkah itu, presiden telah menggadaikan loyalitas dan kenegarawanannya hanya semata-mata untuk kepentingan partai politik.

Padahal loyalitas presiden harus sepenuhnya pada rakyat, pada bangsa dan negara, bukan pada partai politik atau kelompok kepentingan apa pun yang tidak bisa wewakili seluruh kepentingan rakyat di negeri ini. Dan loyalitas seperti ini seyogianya harus tetap dipertahankan walaupun langit akan runtuh.

Pada saat Presiden Yudhoyono mengambil alih kendali dan kepemimpinan Partai Demokrat berarti ia telah menempuh langkah mundur. Presiden telah mengurangi tugas-tugas kenegaraan untuk menjalankan tugas-tugas kepartaian. Presiden telah mengurangi waktunya untuk kepentingan negara lantaran harus (kembali) disibukkan oleh urusan partai.

Padahal di saat bangsa kita menghadapi banyak masalah, presiden dituntut bekerja 24 jam untuk mencari jalan keluar dan memberi arahan kepada seluruh jajaran eksekutif agar juga bekerja 24 jam untuk kepentingan rakyat. Namun dengan kembali mencurahkan perhatian kepada partai politik, presiden akan kehilangan legitimasi untuk memberikan arahan karena presiden sendiri (terbukti) tak mentaatinya.

Loyalitas kepada partai harus diakhiri pada saat loyalitas kepada negara dimulai. Dan bukti untuk mengakhiri loyalitas kepartaian itu antara lain dengan mengakhiri jabatan kepartaian. Yang terjadi pada Presiden Yudhoyono malah sebaliknya. Lebih mendahulukan kepentingan partai dari kepentingan negara, lebih mengutamakan waktu untuk partainya daripada untuk kepentingan rakyatnya.

Yang memilih presiden adalah segenap rakyat, karenanya presiden (juga wakil presiden) harus benar-benar menjadi pemimpin seluruh rakyat, bukan menjadi pemimpin partai. Oleh karena itu, seyogianya presiden menanggalkan jabatan kepartaian yang melekat pada dirinya. Penanggalan jabatan kepartaian merupakan bukti dari tingkat loyalitas yang bersangkutan.

Pada saat jabatan kepartaian ditanggalkan, tidak ada lagi klaim-klaim secara sepihak oleh partai politik manakala presiden berhasil membawa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebaliknya tidak ada pula partai politik yang merasa gagal dan malu pada saat presiden yang diusungnya gagal menjalankan tugas. Keberhasilan presiden adalah keberhasilan seluruh komponen yang bekerja untuk kepentingan rakyat. Begitu pun kegagalannya.

Tapi dengan langkah mundur yang telah ditempuh Yudhoyono, kegagalan yang dialaminya akan menjadi catatan buruk dalam sejarah Partai Demokrat. Dan turunnya popularitas dan elektabilitas partai ini pun bisa jadi penyebab utamanya karena Yudhoyono gagal menampilkan dirinya sebagai pemimpin bagi segenap rakyat.

Mencermati Etika Kolegial Partai Politik

Oleh :
Yopi Eka Anroni
(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Trisakti)
“Sesama bus kota dilarang saling mendahului”, ungkapan lama yang saat ini sudah tidak lagi diindahkan karena semua bus kota sudah terbiasa balapan, bahkan saling serobot. Tapi, dalam kehidupan sosial yang lebih luas, justru ungkapan ini kerap dipakai menjadi semacam “etika kolegial” agar sesama teman, atau sesama keluarga tidak saling “memakan”.

Ungkapan yang sama, saya kira, menjadi standar etika yang berlaku di lingkaran kehidupan partai politik, terutama yang memiliki anggota legislatif di parlemen. Karena etika kolegial inilah, diduga kuat, menjadi faktor perekat sesama partai politik “lama” (yang duduk di parlemen)  sehingga semuanya dinyatakan lolos verifikasi baik administratif maupun faktual.
Jika bukan karena faktor “etika kolegial” bukan tidak mungkin ada beberapa partai lama yang gugur karena untuk memenuhi persyaratan Pemilu baik secara administratif maupun faktual bukan perkara mudah. Kita tak bisa membayangkan misalnya ada partai Islam yang mampu menghadirkan 1000 anggota (yang dibuktikan dengan penerbitan kartu anggota) per-Kabupaten/Kota di sebagian Provinsi Papua atau Papua Barat. Nyatanya, menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), semua partai yang ada di parlemen lolos sesmua.

Partai-partai memiliki ikatan kolegial karena nasib mereka tak jauh berbeda. Secara ideologis relative sama. Dan jangan lupa, semuanya memiliki (oknum) kader yang korup. Mereka juga memiliki masalah keuangan yang sama-sama rumit karena iuran anggota tidak berjalan. Sementara untuk mencari bantuan sumbernya sangat terbatas, dan untuk bermain-main dengan anggaran risikonya bisa masuk penjara.

Tapi, sekuat apa pun ikatan kolegialitas di antara partai-partai untuk menutupi aib satu sama lain, jika ada yang korupsi tetap terendus juga. Karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) punya banyak cara, dan punya banyak mata-mata, untuk menjerat siapa pun yang diduga menilep uang negara.

Bagi partai politik (yang diwakili anggota DPR RI), melahirkan KPK ibarat melahirkan anak macam. Setelah tumbuh taring dan kuku-kukunya, sang macan sudah siap menerkam. Dan sudah banyak anggota DPR RI atau DPRD yang sudah diterkamnya. Karena fakta (menyedihkan) inilah kita bisa memahami mengapa di antara anggota DPR RI tak sedikit yang getol sekali mengampanyekan pembubaran KPK.

Menurut saya, memiliki etika kolegial di antara partai-partai sah-sah saja, karena (antara lain) berguna untuk menggalang persatuan pada saat menghadapi musuh bersama. Untuk mengegolkan undang-undang yang dianggap penting untuk kebutuhan bersama, etika kolegial bisa digunakan sehingga di antara partai-partai bisa mengambil kesepakatan dengan semangat kebersamaan.

Ibarat pisau bermata dua, sayangnya, etika kolegial lebih sering diimplementasikan secara negatif, misalnya untuk saling menutupi kesalahan, atau bahkan untuk saling menyandra satu sama lain. Politik saling menutupi dan saling menyandra ini tampaknya sudah jamak di kalangan aktivis partai politik sehingga cintra buruk yang ditimbulkannya sudah sedemikian terpatri di mata publik.

Semakin maraknya kasus korupsi yang dilakukan anggota partai politik, terutama yang duduk di kursi DPR RI atau DPRD pada dasarnya merupakan salah satu akibat buruk dari adanya etika kolegial sesama (anggota) partai politik yang diimplementasikan secara negatif.

Etika kolegial seyogianya dikembangkan untuk kepentingan yang konstruktif, misalnya, untuk saling mengingatkan dan saling mengontrol agar masing-masing anggota partai politik tidak melakukan tindakan-tindakan yang konyol, atau yang bertentangan dan bisa meruntuhkan kehormatan dirinya.

Karena dalam praktik lebih banyak membawa mudarat, ada baiknya publik menyorot secara khusus praktik-praktik kotor yang terbungkus di balik etika kolegial.

Strategi “Menjual” Partai Politik

Strategi “Menjual” Partai Politik  
oleh :
Yopi Eka Anroni
(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Trisakti)

Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU)  menetapkan jumlah partai politik berikut nomor-nomornya secara resmi yang akan melekat pada partai-partai itu saat mengikuti proses Pemilihan Umum (Pemilu) maka masa kampanye (secara tidak resmi) sudah dimulai.

Banyak cara yang ditempuh partai-partai dalam mengampanyekan dirinya, dengan menggunakan berbagai media. Ada yang rajin mengucapkan selamat pada hari-hari besar, dengan memasang spanduk-spanduk di tengah-tengah dan tepian jalan. Atau dengan menayangkan iklan layanan masyarakat (public service ad/PSA) di media-media cetak dan elektronik. Di luar jadwal kampanye, PSA paling banyak ditempuh karena dianggap aman, dan dari segi informasi isinya memang bermanfaat bagi  masyarakat. 

Dalam tayangan PSA biasanya tidak secara langsung mengampanyekan visi, misi, atau program partai, tapi lebih mengedepankan informasi (pemberitahukan) kepada publik bahwa partai yang bersangkutan cukup peduli dengan isu-siu kemasyarakatan sebagaimana yang diiklankan seperti isu penghijauan, menjaga kelestarian alam dan lingkungan, serta isu-isu yang berkaitan dengan pendidikan dan kesehatan. Iklan-iklan partai sebelum masuk jadwal kampanye, lebih mirip dengan iklan-iklan rokok.

Di samping PSA, cara lain yang banyak ditempuh partai-partai adalah dengan lebih banyak mensosialisasikan tokoh yang sudah atau hendak diusung menjadi calon presiden. Cara ini dianggap paling realistis, sebagai respon atas kecenderungan personalisasi politik.

Semenjak presiden dipilih langsung oleh rakyat, disusul pemilihan langsung kepala daerah, lalu penerapan sistem suara terbanyak dalam menentukan siapa yang terpilih dalam pemilu legislatif, gejala personalisasi politik semakin menguat.

Karena faktor nama besar individu jauh lebih kuat dan lebih menentukan ketimbang partainya, maka suara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pemilihan presiden jauh lebih tinggi ketimbang suara Partai Demokrat –dalam pemilu legislatif-- yang mengusungnya. Meskipun jauh lebih kecil, suara yang diperoleh itu pun terutama (terkatrol) karena nama besar SBY.

Bercermin dari kasus SBY itulah, dalam iklan, beberapa partai lebih menonjolkan capres yang akan diusungnya ketimbang partai itu sendiri. Harapannya, pada saat capresnya sudah populer dan laris-manis, suara partai akan terkatrol dengan sendirinya. Karena itu pula, ada dugaan kuat, partai-partai yang mengusung nama Joko Widodo (Jokowi) saat Pemilukada DKI Jakarta lalu misalnya, akan ikut terangkat suaranya bersamaan dengan semakin menaiknya popularitas Jokowi.

Lantas timbul pertanyaan. Bagaimana jika capres, atau tokoh yang disosialisasikan dalam iklan, ternyata sulit dijual, misalnya karena sisi buruknya dimata publik jauh lebih berat dari sisi baiknya?

Di sinilah menurut saya, seyogianya (juru kampanye dan para konsultan) lebih cermat dalam menjalankan strategi menjual partai politik. Jika tokoh yang dijual tidak populer, apalagi jika kredibilitasnya buruk di mata publik, apabila terus dipaksakan, yang terjadi bukannya mengatrol suara partai malah sebaliknya. Bukan tidak mungkin, banyak pemilih yang apriori dengan suatu partai politik lantaran tidak suka dengan capres yang diusungnya.

Apakah capres yang diusung bisa dijadikan media untuk mengangkat popularitas partai yang mengusung? Jawabannya iya, untuk capres yang popularitas dan elektabilitasnya bagus. Tapi jika capres yang diusung tidak populer, atau bahkan di internal partainya sendiri masih menjadi perdebatan karena kurang disukai, ketika “dijual” tidak akan berpengaruh bagi penambahan suara partainya, malah sangat mungkin bisa menurunkan suara partainya.

Untuk itu, partai-partai yang saat ini mengusung capres yang tidak popular. Atau partai-partai yang sudah berusaha keras “menjual” capresnya, namun tak kunjung populer, ada baiknya segera mengubah strategi dalam berkampanye, dengan cara menjual program-program yang konstruktif dan jelas manfaatnya bagi segenap rakyat.

Jika menjual program dirasa masih kurang efektif juga (karena program-program partai dianggap relatif sama saja), cara lain yang bisa ditempuh adalah dengan merekrut calon-calon anggota legislatif (caleg) yang bagus, mumpuni, dan berkarakter. Meskipun mungkin belum populer, caleg-caleg yang bekualitas bisa lebih efektif untuk mengangkat popularitas partai ketimbang (dengan memaksakan) menjual capres yang tidak populer karena kualitasnya dianggap buruk  oleh publik.