Laman

Sabtu, 15 Juni 2013

Mengangkat Pamor Lembaga Legislatif

Oleh : Yopi Eka Anroni
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Trisakti

Banyak jalan menuju Roma, banyak cara untuk memilih calon anggota DPR yang berkualitas yang bisa mengangkat pamor lembaga legislatif. Mengingat pada periode ini terpuruk terutama karena banyaknya kasus korupsi yang melibatkan anggotanya.
 
Pemilihan umum (pemilu) yang digelar lima tahun sekali merupakan momentum untuk meningkatkan kualitas dan popularitas anggota DPR. Itu karena hanya melalui pemilu, anggota DPR bisa dipilih secara bersama-sama untuk mengisi seluruh kursi yang tersedia.

Pemilu menjadi satu-satunya momentum karena dalam sistem politik yang berlaku di negeri kita, tak ada pemilihan selain yang bisa menggantikan sebagian anggota DPR yang ada. Kita hanya mengenal pergantian antarwaktu (PAW) untuk anggota DPR yang mengundurkan diri, berhenti (dengan berbagai sebab), dan meninggal dunia.

Dengan hanya 12 partai politik nasional yang berhak mengikuti Pemilu 2014, tingkat persaingan memperebutkan suara pemilih akan jauh lebih ketat dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya.
Aroma persaingan bahkan sudah tampak ketat saat penetapan nama-nama daftar calon anggota legislatif (caleg). Karena jumlah partai yang sedikit, ada persaingan menjadi caleg. Kabarnya, pendaftar caleg di partai-partai pada umumnya melonjak hingga tiga sampai empat kali lipat dari yang dibutuhkan. Hal ini memaksa partai-partai harus menyeleksi secara ketat caleg-caleg yang diajukan.

Perpaduan integritas, kualitas, dan popularitas caleg seyogianya menjadi pertimbangan utama. Pertama, integritas berkaitan dengan kepribadian dan moralitas.

pemilu602269Untuk mendeteksinya, setiap bakal caleg bisa diteliti latar belakang dan perjalanan aktivitasnya. Jika terindikasi pernah terlibat korupsi atau pernah melakukan tindakan-tindakan yang tak terpuji maka bakal caleg yang bersangkutan tak bisa diloloskan menjadi caleg.

Kedua, kualitas berkaitan dengan latar belakang pendidikan, wawasan, kreativitas, serta pengalaman dalam mewarnai wacana yang konstruktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Cara mendeteksinya, selain dengan melihat (keaslian) ijazah dan piagam penghargaan yang pernah diperoleh, juga bisa dilacak melalui “mesin pencari” di jagat maya yang tentu akan menyimpan dengan baik peran-peran sosial politik seseorang.

Ketiga, popularitas berkaitan dengan tingkat akseptabilitas caleg. Kalau modalnya hanya populer tapi tidak akseptabel tidak ada gunanya. Populer yang disebabkan karena tingkah polah yang negatif tidak ada artinya untuk mengangkat nama caleg.

Berpadunya tiga faktor ini (integritas, kualitas, dan popularitas) akan menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemilih. Ketika nama baik partai-partai sudah terpuruk, maka nama-nama caleg yang bersih, bermutu, dan populer bisa menutupinya.

Nepotisme
Masalahnya, apakah betul partai-partai sudah menggunakan perpaduan integritas, kualitas, dan popularitas sebagai standar utama penilaian dalam memilih caleg? Tampaknya belum. Nepotisme dan pola bargaining masih menjadi pertimbangan utama.

Jika ada anak, istri, dan menantu kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) atau keluarga pemilik partai, sudah pasti akan menjadi prioritas. Begitupun pemimpin partai-partai yang tak lolos verifikasi dan bergabung dengan partai yang lolos, sudah pasti menjadi pertimbangan.

Soal perpaduan integritas, kualitas, dan popularitas masih menjadi faktor yang kesekian. Banyaknya iklan partai yang berisi pola perekrutan caleg yang terbuka dengan pertimbangan-pertimbangan yang rasional, objektif, dan akuntabel, hanya sekadar pencitraan yang tak sepenuhnya dijalankan.

Jika yang terjadi, dalam perekrutan dan seleksi dilakukan secara tertutup dan cenderung tidak rasional maka pada tahap ini partai-partai sudah gagal, atau setidaknya belum punya niat baik untuk meningkatkan kualitas lembaga legislatif. Padahal peningkatan kualitas lembaga legislatif menjadi poin yang sangat penting dalam proses demokratisasi.

Menurut catatan sejumlah pengamat dan penilaian sejumlah lembaga swadaya masyarakat, kualitas lembaga legislatif periode 2009-2014 tidak jauh lebih baik dari periode sebelumnya (2004-2009). Jika pola perekrutan caleg saat ini tidak menitikberatkan pada integritas, kualitas, dan popularitas, maka kecil kemungkinan akan lahir lembaga legislatif yang lebih baik.

Kalaupun masih ada, harapan itu antara lain ada pada rakyat yang akan memilih para caleg. Kejelian rakyat dalam memilah dan memilih caleg menjadi tumpuan harapan kita akan lahirnya lembaga legislatif yang lebih baik.

Untuk membantu kejelian rakyat dalam menentukan pilihan, dibutuhkan peran aktif kampus, akademikus, aktivis, dan komponen civil society (lembaga swadaya masyarakat, ormas, dan lain-lain) untuk bahu-membahu melakukan pendidikan politik bagi segenap rakyat.

living legend dari empat pilar (Taufik Kiemas Bapak 4 Pilar)

Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, Taufiq Kiemas wafat, selain meninggalkan nama, juga meninggalkan banyak cerita tentang Pancasila.

Pancasila, menurut Taufiq Kiemas, selama dua belas tahun telah kita lupakan. Kata-kata ini beliau ucapkan tahun 2010, saat “empat pilar” mulai disosialisasikan. Empat pilar adalah nomenklatur yang dilahirkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang merujuk pada: (1) Pancasila; (2) Undang Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945; (3) Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (4) Bhinneka Tunggal Ika.
Salah satu tugas  pimpinan MPR, sebagaimana tertuang dalam Undang Undang Nomor 17 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD adalah mengoordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan UUD RI tahun 1945. Dari tugas inilah, pimpinan MPR kemudian merumuskannya dalam “sosialisasi empat pilar kebangsaan”.

Karena kata “empat pilar” lahir pada periode MPR yang dipimpin Taufiq Kiemas maka tak ayal, suami dari Presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputeri, ini kerap dijuluki sebagai “Bapak Empat Pilar”.
Di antara empat pilar yang paling menjadi pusat perhatian Taufiq Kiemas adalah Pancasila, bukan lantaran karena beliau mempunyai hubungan kekerabatan (menantu) Presiden pertama RI, Soekarno, yang pertama kali memperkenalkan rumusan Pancasila, tapi karena dasar negara ini, sebagaimana disinggung di atas, telah dilupakan banyak orang. Padahal Pancasila memiliki nilai strategis terutama dalam menjaga keutuhan bangsa.
Pada saat berkunjung ke Jakarta, November 2010, dalam pidato yang disampaikan di kampus Universitas Indonesia, Depok, Presiden Amerika Serikat Barack Obama memberi apresiasi yang tinggi pada Pancasila. Menurutnya, jika di Amerika ada        E pluribus unum, beragam tapi bersatu, di Indonesia disebut Bhinneka Tunggal Ika, persatuan dalam keberagaman.

Amerika dan Indonesia mampu menyatukan ratusan juta orang yang memiliki kepercayaan berbeda di bawah satu panji-paji. “Itulah semangat Indonesia, itulah pesan yang tertuang dalam Pancasila,” kata Obama dalam pidatonya.Taufiq Kiemas gembira sekali mendengar pidato Obama. Kalau presiden negara adikuasa saja mengapresiasi Pancasila, mengapa kita sendiri yang memilikinya tidak? Karena itu dalam setiap kesempatan berbicara, baik dalam pidato-pidato resmi maupun pada saat berbincang-bincang, politisi yang oleh masyarakat Minangkabau diberi gelar “Datuk Basa Batuah” ini selalu menekankan pentingnya Pancasila dalam kehidupan berbangsa.

Pancasila, dalam pendangan Taufiq, bukan kata keramat yang jauh dari rakyat, tapi dasar bernegara yang harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari seluruh warga masyarakat. Karenanya, ketimbang memperingati Kesaktian Pancasila, 1 Oktober, Taufiq lebih condong memperingati kelahiran Pancasila, 1 Juni.Upayanya mensosialisasikan kelahiran Pancasila 1 Juni bukan tanpa tantangan, banyak kalangan menolak, terutama dari para politisi partai-partai berhaluan Islam. Penolakan itu karena 1 Juni merujuk pada hari pidato pertama Bung Karno mengenai Pancasila, 1 Juni 1945 didepan Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Karena pidato itulah, Pancasila dianggap identik dengan Bung Karno. Dan karena identik dengan Bung Karno, ada beberapa politisi partai Islam yang mengkhawatirkan Pancasila hanya menjadi milik golongan tertentu saja, dalam hal ini, kaum nasionalis pelanjut gagasan Soekarno.

AM Fatwa –yang kurang setuju dengan penetapan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila—misalnya menegaskan dalam banyak kesempatan bahwa Pancasila adalah karya bersama milik bangsa, bukan hak paten suatu golongan saja. Siapa yang dimaksud dengan suatu golongan oleh politisi senior PAN ini, publik sudah mafhum.

Taufiq Kiemas adalah satu dari sedikit tokoh politik yang enggan berkonflik. Ia selalu berusaha menjalin silaturrahmi dengan semua kalangan tanpa membedakan agama, suku, dan partai politik. Dengan sikapnya yang terbuka dan bersahabat dengan siapa saja, kita yakin bahwa nasionalisme yang menjadi landasan perjuangan Taufiq Kiemas bukan untuk satu golongan saja, begitu pun kelahiran Pancasila.

Taufiq Kiemas tak mau menanggapi mereka yang tak setuju hari lahir Pancasila 1 Juni dengan kata-kata, tapi ia lebih memilih tindakan nyata. Setiap datang 1 Juni ia selalu memperingatinya. Bahkan, 1 Juni 2013 lalu, ia berangkat ke Ende –bersama Wapres Boediono—untuk memperingati lahirnya Pancasila sekaligus peresmian situs Bung Karno. Karena kelelahan, sepulang dari Ende beliau langsung diterbangkan menuju salah satu Rumah Sakit di Singapura, untuk dirawat hingga wafat (8/6/2013).

Pancasila, di tangan Taufiq Kiemas, selain menjadi ideologi yang profan, merakyat, juga menjadi ajaran yang mudah diterima oleh semua kalangan. Maka sosialisasi empat pilar yang digagasnya, dinilai banyak kalangan sebagai upaya brilian, yang mengontraskannya dengan indoktrinasi P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) a la Orde Baru.

Karena P-4, banyak generasi baru antipati pada Pancasila dan melupakannya. Banyak aktivis memplesetkan sila-sila Pancasila sehingga dasar negara itu menjadi bahan ledekan. Pancasila diplesetkan menjadi Pancasial.  Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi Keuangan Yang Maha Kuasa, Kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi Kemanusiaan yang labil dan biadab, Persatuan Indonesia menjadi Persatean Indonesia, dan seterusnya. Mengapa demikian? Karena yang diajarkan hanya doktrin yang tidak diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak diberi contoh oleh para pejabat dan para petinggi negara yang memegang amanat rakyat.

Sementara itu banyak kalangan menilai, cara berpolitik Taufiq Kiemas adalah cermin hidup dari Pancasila. Untuk mengimplementasikan sila Ketuhanan, beliau mendorong lahirnya Baitul Muslimin Indonesia, sayap agama dalam PDIP;  untuk mengamalkan sila kedua, beliau selalu memberi bantuan kepada siapa pun yang membutuhkan uluran tangan;  untuk sila ketiga beliau selalu berupaya merajut persatuan dengan semua kalangan; untuk sila keempat beliau senantiasa mendorong musyawarah mufakat dalam setiap momen permusyawaratan; dan untuk sila kelima beliau tak pernah lelah mendorong tegaknya keadilan.

Berbeda dengan indoktrinasi P-4 yang minus keteladanan. 4-P  (empat pilar) benar-benar diamalkan oleh Taufiq Kiemas sendiri sebagai pejabat yang menjadi motor utama sosialisasinya. Karenanya, tak berlebihan jika beliau disebut sebagai living legend dari empat pilar.