Laman

Selasa, 19 November 2013

CAPRES DAN KOMITMEN PEMBERANTASAN KORUPSI

oleh :
YOPI EKA ANRONI, SE, ME

Di negeri ini, pemberantasan korupsi bisa dikatakan sebagai isu yang relatif permanen. Dari era Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono, sejak Republik berdiri hingga saat ini, agenda pemberantasan korupsi tetap ada, seolah tak lekang waktu.

Mengapa demikian? Pertama, karena kasus korupsi memang terus marak dari waktu ke waktu. Sepanjang ada kasus—apalagi dalam skala besar—sepanjang sepanjang itu pula pemberantasan korupsi terus menjadi prioritas agenda.

Maraknya korupsi itu misalnya bisa dilihat dari pemberitaan di media massa, dari kasus melimpah yang ditangani para penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta dari laporan lembaga-lembaga anti korupsi—baik dalam maupun luar negeri—yang setiap tahun mengeluarkan indeks korupsi di berbagai negara.

Kedua, karena setiap pemerintahan yang baru berkuasa, selalu mencanangkan pemberantasan korupsi sebagai agenda prioritas, namun dalam pelaksanaannya tidak ada yang terbukti berjalan dengan baik. Kalaupun ada (dijalankan) biasanya tidak tuntas, apalagi saat kasus yang dihadapi mulai menyentuh jantung kekuasaan.

Masih segar dalam ingatan kita, saat pertama kali memerintah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan komitmen di hadapan publik akan memberantas korupsi mulai dari pintu Istana. Tapi, bagaimana faktanya? Ada yang mengatakan komitmen itu sebatas untuk menanamkan citra bahwa rezim ini anti-korupsi.

Dalam perjalanan sejarahnya, muncul sejumlah dugaan, keluarga Istana bahkan disebut-sebut terlibat dalam kasus-kasus korupsi seperti dalam proyek pengadaan sarana olahraga di bukit Hambalang, dan dalam kasus kebijakan impor daging sapi.

Ketiga, sudah banyak undang-undang yang sengaja dirancang dan ditetapkan khusus untuk menangani kasus-kasus korupsi. Tapi dalam pelaksanaannya, selain melibatkan banyak aparat penegak hukum, juga kerap diimplementasikan secara tidak adil.

Pedang keadilan biasanya hanya tajam ke bawah, namun tumpul ketika diarahkan ke atas. Jika yang melakukan rakyat biasa, pencurian barang senilai puluhan ribu rupiah pun bisa mendapatkan hukuman berat, tapi jika yang melakukan adalah orang kuat, baik secara ekonomi maupun politik, hukumannya bisa ditangguhkan atau terus-menerus mendapatkan potongan, atau bahkan bisa dibebaskan dari segala tuntutan.

Komitmen Capres
Mencermati persoalan di atas, menurut saya, setiap calon presiden, baik yang sudah ditetapkan partainya maupun yang kini mengikuti Konvensi Capres Partai Demokrat, harus punya komitmen jelas untuk menjadikan pemberantasan korupsi sebagai salah satu agenda prioritasnya saat terpilih menjadi presiden.

Kejelasan komitmen itu misalnya ditandai dengan, pertama, tencantumnya agenda dan pencapaian pemberantasan korupsi secara jelas dalam hitungan waktu tertentu sehingga publik bisa mengevaluasi secara objektif apakah agenda itu sudah dijalankan dengan baik atau tidak.

Kedua, dengan membuat kesepakatan anti-korupsi di hadapan publik, misalnya dengan menandatangani pakta integritas yang baik secara hukum maupun politik, bisa dipertanggungjawabkan disertai dengan adanya sanksi atau implikasi politik yang harus dihadapi saat pakta integritas itu gagal diimplementasikan.

Ketiga, yang tidak kalah penting adalah memulai dari diri sendiri. Setiap capres harus mampu membuktikan di hadapan publik bahwa dirinya merupakan sosok yang bersih dari korupsi, antara lain dengan mengumumkan harta kekayaan yang dimiliki berikut asal usulnya, dan dengan kesediaan untuk ditelusuri track record dan atau riwayat hidupnya.

Ada pepatah yang mengatakan “ikan membusuk dimulai dari kepalanya”. Komitmen suatu rezim untuk memberantas korupsi harus dimulai dari diri sendiri. Seorang presiden harus mampu membuktikan diri dan keluarganya merupakan sosok-sosok bersih, anti-korupsi. Saat Presiden dan atau keluarganya terbukti korup, rakyat tentu akan dengan mudah meniru atau setidak-tidaknya punya alasan untuk ikut-ikutan korupsi.

Kecerdasan Pemilih

Setiap korupsi terjadi karena ada kerja sama antara kedua belah pihak, pihak yang menjalankan korupsi dengan pihak yang bersedia barangnya dikorupsi, ada pihak yang mau menyuap dan yang mau disuap. Jika yang terjadi hanya kemauan satu pihak, namanya bukan lagi korupsi, tapi mencuri.

Oleh karena itu, komitmen untuk menjalankan agenda pemberantasan korupsi harus dijalankan kedua belah pihak, rezim yang memimpin dan rakyat yang dipimpin. Tak ada gunanya capres punya komitmen jika rakyat tak memiliki komitmen yang sama.

Jika para capres sudah berkomitmen untuk memprioritaskan agenda pemberantasan korupsi dengan menempuh ketiga langkah di atas, yang dibutuhkan kemudian adalah komitmen publik atau para pemilih untuk benar-benar memilih capres yang sesuai, yakni berjanji akan menjalankan komitmennya.

Kecenderungan apakah seorang capres di kemudian hari (setelah terpilih) akan menjadi koruptor atau tidak, bagi pemilih yang cermat dan cerdas, tentu bisa diketahui tanda-tandanya dari awal, dari mulai proses penjaringan capres, saat kampanye, dan saat hari pencoblosan. Jika dalam semua proses ini diwarnai penyuapan dan kecurangan, tentu capres seperti ini tidak layak dipilih.

Kemauan dan kecerdasan pemilih menjadi penting untuk merealisasikan agenda pemberantasan korupsi dalam proses penentuan dan pemilihan capres. Para pemilih seyogianya tahu secara pasti capres seperti apa yang layak atau tidak layak dipilih.

PEMILU UNTUK MELAHIRKAN PAHLAWAN BARU

 oleh :
 Yopi Eka Anroni,SE,ME

Pahlawan merupakan sosok yang berjuang keras memberikan inspirasi dan melakukan perubahan tanpa pamrih di bidang-bidang itu diberi gelar pahlawan sesuai dengan bidang yang digelutinya. Kepahlawanan mereka, menurut saya, tak kalah penting dan mulia dari pahlawan-pahlawan “resmi” yang diangkat pemerintah melalui surat keputusan presiden.

Tantangan yang ada di era Reformasi ini tak kalah berat dan rumit dibandingkan dengan era penjajahan dan era awal kemerdekaan. Mengapa demikian? Ini karena di era ini tantangan memiliki wajah yang sangat kompleks, dari yang terlihat hingga yang tidak terlihat.Misalnya, tantangan kemajuan teknologi yang berdampak pada berbagai sektor. Ini membutuhkan sosok-sosok pejuang agar semuanya tetap berada pada koridor yang konstruktif

Hal yang paling sulit diantisipasi tentu saja tantangan di bidang teknologi informasi. Ini karena perkembangannya merasuk ke ruang-ruang kehidupan kita melalui alam maya. Ruang geraknya tak terbatas, bahkan melintasi multidimensi hingga merasuk ke ruang bawah sadar kita.Di sinilah kita membutuhkan pahlawan-pahlawan baru yang mampu mengantisipasi, menguasai, dan mengembangkan teknologi informasi ke arah perubahan yang lebih konstruktif dan bermanfaat bagi kemajuan bersama sebagai suatu bangsa.
Hal yang tidak kalah penting adalah perjuangan di bidang politik karena era Reformasi identik dengan era pembaruan politik.

Meskipun para founder negeri ini telah menetapkan Indonesia sebagai negara hukum—artinya hukumlah yang menjadi panglima dalam mengatasi berbagai permasalahan kebangsaan— tetapi secara sistemik setiap perangkat hukum selalu lahir dari keputusan politik. Oleh karena itu, para pahlawan pembaruan di bidang politik selalu lebih menonjol daripada pahlawan di bidang hukum

Fungsi Pemilu
Pada saat menjelang pemilihan umum (pemilu) seperti saat ini, tampilnya pahlawan perubahan di bidang politik menjadi sangat penting dan urgen karena pemilu merupakan momentum yang secara hukum dianggap sah untuk memilih sosok baru dalam mengisi dan memimpin lembaga-lembaga politik, terutama di bidang legislatif dan eksekutif.

Legislatif adalah lembaga politik yang melahirkan perangkat-perangkat hukum, sedangkan eksekutif adalah lembaga politik yang bertanggung jawab atas pelaksanaan setiap perangkat hukum yang dilahirkan lembaga legislatif.Hadirnya pahlawan di kedua lembaga ini akan menentukan pembaruan di segala bidang. Arah kebijakan hukum, ekonomi, sosial, pertahanan, dan keamanan akan sangat bergantung pada tokoh yang akan kita pilih dalam pemilu. 

Akankah pemilu berfungsi melahirkan pahlawan-pahlawan perubahan yang konstruktif bagi kemajuan bangsa ini? Jawabannya ada pada kita semua.Tampilnya para politikus yang gagal menjalankan fungsinya, bahkan banyak di antaranya yang destruktif bagi kemajuan bangsa, seyogianya bisa menjadi pelajaran mahapenting: Jangan sampai pemilu mendatang menghasilkan para pejabat serupa, apalagi jika yang terpilih adalah mereka yang lebih bejat dari sebelumnya. 

Merugilah bangsa ini jika pemilu gagal melahirkan pahlawan-pahlawan baru yang lebih baik dari era sebelumnya. Untuk menghindari kemungkinan menjadi bangsa yang merugi, kita membutuhkan kejelian pada saat memilah dan memilih para calon pemimpin.

Pilihlah mereka yang memiliki kriteria yang mendukung kemajuan. Selain kompetensi (asas meritokrasi), hal yang tidak kalah penting adalah integritas moral dan kepeduliannya pada rakyat yang telah memilihnya.
Ibarat ikan yang membusuk dari kepalanya, hancurnya bangsa ini terutama disebabkan minusnya integritas moral para pemimpinnya. Oleh karena itu, dalam pemilu pilihlah mereka yang selain mumpuni dalam memimpin, juga layak menjadi pahlawan-pahlawan baru yang mampu memajukan bangsanya.

Sabtu, 09 November 2013

Pendidikan adalah Alat Pembebasan dan Harkat Kemanusiaan

Oleh : 
Yopi Eka Anroni, SE, ME
(Pengamat Ekonomi Politik Kota Bekasi)

Aristoteles  sudah  sejak  lama  mengingatkan,  bahwa “akar pendidikan itu pahit, tapi buahnya manis.” Lihatlah bagaimana sebagian besar prang tua kita, rela bersusah payah membanting tulang, menjual tanah dan sawah, hanya sekedar agar keturunannya bernasib lebih baik daripada mereka. Tentu kita semua sadar, bagaimana profesi guru menjadi pilihan banyak orang-orang baik, yang rela digaji rendah demi menularkan ilmu pengetahuan sebagai pengabdian pada kehidupan.

Lalu apa yang salah dari kita? Pendidikan seolah-olah hanya menahirkan manusia-manusia robot yang mengejar upah tinggi tanpa pernah peduli pada sesama. Pendidikan Indonesia seakan hanya dirancang untuk menghasilkan pekerja-pekerja yang mengabdikan hidupnya di kantor-kantor mewah dan di pabrik-pabrik. Pendidikan kita hanya menghasilkan manusia yang dikepalanya menghapalkan jutaan teori-teori, tanpa pernah menghasilkan teori dari bumi tanah airnya sendiri. Pendidikan kita bisa menghasilkan pelayan-pelayan yang pintar, tapi gagal mencetak manusia-manusia cerdas yang merdeka.

Kita dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa kepahitan yang kita alami sekarang adalah merupakan takdir yang tidak terhindarkan. Kepahitan yang ada sekarang adalah buah dari “akar-akar pendidikan palsu” yang telah kita taburkan di masa lalu. Pendidikan palsu itu memuja segala sesuatu yang palsu, mulai dari angka statistik palsu, laporan palsu, skripsi palsu, senyum palsu, sistem keuangan palsu, reputasi palsu, perusahaan dan industri palsu, dan sekaligus melibatkan pendidik-pendidik palsu, gelar palsu, mata kuliah dan kurikulum palsu, dan semua imitasi lainnya.

Kita harusnya mulai mengakui, bahwa kita semua telah salah memilih pupuk sistem pendidikan di masa yang lalu, dan karenanya kini memanen buah pendidikan yang tidak bisa bersaing dengan bangsa-bangsa yang lain. Kita kini hidup dalam sebuah sistem pendidikan yang mencetak generasi individualistik. Keadaan yang jelas sangat memasung nilai-nilai gotong royong warisan nenek moyang kita. Pelajar dan mahasiswa kita hanya disibukkan dengan jadwal kuliah yang padat, serta pekerjaan rumah yang padat pula. Setelah lulus usia mereka sudah terlambat untuk memulai bagaimana hidup dengan berkarya dari hasil pemikiran dan keringat sendiri, satu-satunya jalan adalah segera mencari pekerjaan dengan upah berapapun dan dimanapun.
 
Demikianlah Pendidikan Nasional kita tidak lagi mampu mencetak kader-kader bangsa sehebat Soekarno, Hatta, Syahrir dll., belum apa-apa mereka telah dijerat dengan berbagai embel-embel negatif, narkoba, komunis, anarkis dsb. Jangan heran bila Universitas sekarang hanya menghasilkan kelompok militan muda yang suka berperang antar fakultas, suka mabuk-mabukan, suka memalsukan tanda tangan. Inilah generasi yang hilang, the lost generation, inilah keterasingan yang lahir dari jantung sistem pendidikan kita.
Sekolah dan kampus sejatinya tidak di desain untuk mencetak manusia penghapal teori, tapi sekolah dan kampus harus penjadi garda terdepan untuk mencetak manusia Indonesia yang bisa melahirkan teorinya sendiri, teori untuk bangsanya sendiri, dan teori untuk kemaslahatan seluruh manusia di muka bumi.

Kita sekali lagi, harus mengakui bahwa kita sama-sama telah menempuh jalan yang salah. Saatnya kita merubah keadaan, jangan salahkan generasi muda kita karena suka membolos, ini akibat sekolah dan kampus yang tak lagi menjadi alat pencerahan dan pemenuh dahaga pengetahuan. Jangan salahkan si miskin jika harus turun ke jalan-jalan, karena biaya pendidikan yang melambung tinggi. Jangan salahkan petani yang tak mampu menghasilkan panen melimpah, karena anak-anak yang mereka sekolahkan tak satupun kembali ke desa mengajarkan mereka bagaimana pertanian yang baik.

Jangan salahkan guru-guru kita jika tidak mengajarkan ilmu pengetahuan dengan benar, karena sistem pendidikan yang tidak memberikan fasilitas yang baik bagi mereka. Jangan cari tahu, mengapa pelajar dan mahasiswa terlibat tawuran, karena sesungguhnya dalang semua itu adalah kesalahan kita dalam mendidik mereka.

Negara juga harus kembali menerapkan kepercayaan, bahwa teori yang baik bukanlah teori yang tebal dan panjang untuk dihapalkan. Teori yang baik adalah teori yang bisa dipraktekkan. Untuk itu universitas harus mengajarkan gerakan kembali ke desa, sehingga Jakarta dan kota-kota lainnya tidak menjadi satu-satunya tujuan akhir peserta didik. Desa adalah masa depan bangsa Indonesia.

Desa adalah benteng terakhir peradaban manusia Indonesia seutuhnya. Orang tua kita telah membayar mahal biaya pendidikan kita, sawah-sawah pelan-pelan digusur oleh industrialisasi. Ternak kakek dan nenek kita satu per satu di jual untuk menyekolahkan kita. Maka , marilah kita persembahkan penghargaan setinggi-tingginya, pada semua orang-orang tua di Indonesia, atas segala keringat yang dikucurkan, atas segala air mata yang diteteskan, atas setiap jengkal tanah yang telah mereka ikhlaskan untuk pendidikan bangsa ini.