oleh :
YOPI EKA ANRONI, SE, ME
Di negeri ini, pemberantasan korupsi bisa dikatakan sebagai isu yang
relatif permanen. Dari era Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono,
sejak Republik berdiri hingga saat ini, agenda pemberantasan korupsi
tetap ada, seolah tak lekang waktu.
Mengapa demikian? Pertama, karena kasus korupsi memang terus marak
dari waktu ke waktu. Sepanjang ada kasus—apalagi dalam skala
besar—sepanjang sepanjang itu pula pemberantasan korupsi terus menjadi
prioritas agenda.
Maraknya korupsi itu misalnya bisa dilihat dari pemberitaan di media
massa, dari kasus melimpah yang ditangani para penegak hukum seperti
kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta
dari laporan lembaga-lembaga anti korupsi—baik dalam maupun luar
negeri—yang setiap tahun mengeluarkan indeks korupsi di berbagai negara.
Kedua, karena setiap pemerintahan yang baru berkuasa, selalu
mencanangkan pemberantasan korupsi sebagai agenda prioritas, namun dalam
pelaksanaannya tidak ada yang terbukti berjalan dengan baik. Kalaupun
ada (dijalankan) biasanya tidak tuntas, apalagi saat kasus yang dihadapi
mulai menyentuh jantung kekuasaan.
Masih segar dalam ingatan kita, saat pertama kali memerintah,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan komitmen di hadapan
publik akan memberantas korupsi mulai dari pintu Istana. Tapi, bagaimana
faktanya? Ada yang mengatakan komitmen itu sebatas untuk menanamkan
citra bahwa rezim ini anti-korupsi.
Dalam perjalanan sejarahnya, muncul sejumlah dugaan, keluarga Istana
bahkan disebut-sebut terlibat dalam kasus-kasus korupsi seperti dalam
proyek pengadaan sarana olahraga di bukit Hambalang, dan dalam kasus
kebijakan impor daging sapi.
Ketiga, sudah banyak undang-undang yang sengaja dirancang dan
ditetapkan khusus untuk menangani kasus-kasus korupsi. Tapi dalam
pelaksanaannya, selain melibatkan banyak aparat penegak hukum, juga
kerap diimplementasikan secara tidak adil.
Pedang keadilan biasanya hanya tajam ke bawah, namun tumpul ketika
diarahkan ke atas. Jika yang melakukan rakyat biasa, pencurian barang
senilai puluhan ribu rupiah pun bisa mendapatkan hukuman berat, tapi
jika yang melakukan adalah orang kuat, baik secara ekonomi maupun
politik, hukumannya bisa ditangguhkan atau terus-menerus mendapatkan
potongan, atau bahkan bisa dibebaskan dari segala tuntutan.
Komitmen Capres
Mencermati persoalan di atas, menurut saya, setiap calon presiden,
baik yang sudah ditetapkan partainya maupun yang kini mengikuti Konvensi
Capres Partai Demokrat, harus punya komitmen jelas untuk menjadikan
pemberantasan korupsi sebagai salah satu agenda prioritasnya saat
terpilih menjadi presiden.
Kejelasan komitmen itu misalnya ditandai dengan, pertama,
tencantumnya agenda dan pencapaian pemberantasan korupsi secara jelas
dalam hitungan waktu tertentu sehingga publik bisa mengevaluasi secara
objektif apakah agenda itu sudah dijalankan dengan baik atau tidak.
Kedua, dengan membuat kesepakatan anti-korupsi di hadapan publik,
misalnya dengan menandatangani pakta integritas yang baik secara hukum
maupun politik, bisa dipertanggungjawabkan disertai dengan adanya sanksi
atau implikasi politik yang harus dihadapi saat pakta integritas itu
gagal diimplementasikan.
Ketiga, yang tidak kalah penting adalah memulai dari diri sendiri.
Setiap capres harus mampu membuktikan di hadapan publik bahwa dirinya
merupakan sosok yang bersih dari korupsi, antara lain dengan mengumumkan
harta kekayaan yang dimiliki berikut asal usulnya, dan dengan kesediaan
untuk ditelusuri track record dan atau riwayat hidupnya.
Ada pepatah yang mengatakan “ikan membusuk dimulai dari kepalanya”.
Komitmen suatu rezim untuk memberantas korupsi harus dimulai dari diri
sendiri. Seorang presiden harus mampu membuktikan diri dan keluarganya
merupakan sosok-sosok bersih, anti-korupsi. Saat Presiden dan atau
keluarganya terbukti korup, rakyat tentu akan dengan mudah meniru atau
setidak-tidaknya punya alasan untuk ikut-ikutan korupsi.
Kecerdasan Pemilih
Setiap korupsi terjadi karena ada kerja sama antara kedua belah
pihak, pihak yang menjalankan korupsi dengan pihak yang bersedia
barangnya dikorupsi, ada pihak yang mau menyuap dan yang mau disuap.
Jika yang terjadi hanya kemauan satu pihak, namanya bukan lagi korupsi,
tapi mencuri.
Oleh karena itu, komitmen untuk menjalankan agenda pemberantasan
korupsi harus dijalankan kedua belah pihak, rezim yang memimpin dan
rakyat yang dipimpin. Tak ada gunanya capres punya komitmen jika rakyat
tak memiliki komitmen yang sama.
Jika para capres sudah berkomitmen untuk memprioritaskan agenda
pemberantasan korupsi dengan menempuh ketiga langkah di atas, yang
dibutuhkan kemudian adalah komitmen publik atau para pemilih untuk
benar-benar memilih capres yang sesuai, yakni berjanji akan menjalankan
komitmennya.
Kecenderungan apakah seorang capres di kemudian hari (setelah
terpilih) akan menjadi koruptor atau tidak, bagi pemilih yang cermat dan
cerdas, tentu bisa diketahui tanda-tandanya dari awal, dari mulai
proses penjaringan capres, saat kampanye, dan saat hari pencoblosan.
Jika dalam semua proses ini diwarnai penyuapan dan kecurangan, tentu
capres seperti ini tidak layak dipilih.
Kemauan dan kecerdasan pemilih menjadi penting untuk merealisasikan
agenda pemberantasan korupsi dalam proses penentuan dan pemilihan
capres. Para pemilih seyogianya tahu secara pasti capres seperti apa
yang layak atau tidak layak dipilih.