Laman

Sabtu, 09 November 2013

Pendidikan adalah Alat Pembebasan dan Harkat Kemanusiaan

Oleh : 
Yopi Eka Anroni, SE, ME
(Pengamat Ekonomi Politik Kota Bekasi)

Aristoteles  sudah  sejak  lama  mengingatkan,  bahwa “akar pendidikan itu pahit, tapi buahnya manis.” Lihatlah bagaimana sebagian besar prang tua kita, rela bersusah payah membanting tulang, menjual tanah dan sawah, hanya sekedar agar keturunannya bernasib lebih baik daripada mereka. Tentu kita semua sadar, bagaimana profesi guru menjadi pilihan banyak orang-orang baik, yang rela digaji rendah demi menularkan ilmu pengetahuan sebagai pengabdian pada kehidupan.

Lalu apa yang salah dari kita? Pendidikan seolah-olah hanya menahirkan manusia-manusia robot yang mengejar upah tinggi tanpa pernah peduli pada sesama. Pendidikan Indonesia seakan hanya dirancang untuk menghasilkan pekerja-pekerja yang mengabdikan hidupnya di kantor-kantor mewah dan di pabrik-pabrik. Pendidikan kita hanya menghasilkan manusia yang dikepalanya menghapalkan jutaan teori-teori, tanpa pernah menghasilkan teori dari bumi tanah airnya sendiri. Pendidikan kita bisa menghasilkan pelayan-pelayan yang pintar, tapi gagal mencetak manusia-manusia cerdas yang merdeka.

Kita dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa kepahitan yang kita alami sekarang adalah merupakan takdir yang tidak terhindarkan. Kepahitan yang ada sekarang adalah buah dari “akar-akar pendidikan palsu” yang telah kita taburkan di masa lalu. Pendidikan palsu itu memuja segala sesuatu yang palsu, mulai dari angka statistik palsu, laporan palsu, skripsi palsu, senyum palsu, sistem keuangan palsu, reputasi palsu, perusahaan dan industri palsu, dan sekaligus melibatkan pendidik-pendidik palsu, gelar palsu, mata kuliah dan kurikulum palsu, dan semua imitasi lainnya.

Kita harusnya mulai mengakui, bahwa kita semua telah salah memilih pupuk sistem pendidikan di masa yang lalu, dan karenanya kini memanen buah pendidikan yang tidak bisa bersaing dengan bangsa-bangsa yang lain. Kita kini hidup dalam sebuah sistem pendidikan yang mencetak generasi individualistik. Keadaan yang jelas sangat memasung nilai-nilai gotong royong warisan nenek moyang kita. Pelajar dan mahasiswa kita hanya disibukkan dengan jadwal kuliah yang padat, serta pekerjaan rumah yang padat pula. Setelah lulus usia mereka sudah terlambat untuk memulai bagaimana hidup dengan berkarya dari hasil pemikiran dan keringat sendiri, satu-satunya jalan adalah segera mencari pekerjaan dengan upah berapapun dan dimanapun.
 
Demikianlah Pendidikan Nasional kita tidak lagi mampu mencetak kader-kader bangsa sehebat Soekarno, Hatta, Syahrir dll., belum apa-apa mereka telah dijerat dengan berbagai embel-embel negatif, narkoba, komunis, anarkis dsb. Jangan heran bila Universitas sekarang hanya menghasilkan kelompok militan muda yang suka berperang antar fakultas, suka mabuk-mabukan, suka memalsukan tanda tangan. Inilah generasi yang hilang, the lost generation, inilah keterasingan yang lahir dari jantung sistem pendidikan kita.
Sekolah dan kampus sejatinya tidak di desain untuk mencetak manusia penghapal teori, tapi sekolah dan kampus harus penjadi garda terdepan untuk mencetak manusia Indonesia yang bisa melahirkan teorinya sendiri, teori untuk bangsanya sendiri, dan teori untuk kemaslahatan seluruh manusia di muka bumi.

Kita sekali lagi, harus mengakui bahwa kita sama-sama telah menempuh jalan yang salah. Saatnya kita merubah keadaan, jangan salahkan generasi muda kita karena suka membolos, ini akibat sekolah dan kampus yang tak lagi menjadi alat pencerahan dan pemenuh dahaga pengetahuan. Jangan salahkan si miskin jika harus turun ke jalan-jalan, karena biaya pendidikan yang melambung tinggi. Jangan salahkan petani yang tak mampu menghasilkan panen melimpah, karena anak-anak yang mereka sekolahkan tak satupun kembali ke desa mengajarkan mereka bagaimana pertanian yang baik.

Jangan salahkan guru-guru kita jika tidak mengajarkan ilmu pengetahuan dengan benar, karena sistem pendidikan yang tidak memberikan fasilitas yang baik bagi mereka. Jangan cari tahu, mengapa pelajar dan mahasiswa terlibat tawuran, karena sesungguhnya dalang semua itu adalah kesalahan kita dalam mendidik mereka.

Negara juga harus kembali menerapkan kepercayaan, bahwa teori yang baik bukanlah teori yang tebal dan panjang untuk dihapalkan. Teori yang baik adalah teori yang bisa dipraktekkan. Untuk itu universitas harus mengajarkan gerakan kembali ke desa, sehingga Jakarta dan kota-kota lainnya tidak menjadi satu-satunya tujuan akhir peserta didik. Desa adalah masa depan bangsa Indonesia.

Desa adalah benteng terakhir peradaban manusia Indonesia seutuhnya. Orang tua kita telah membayar mahal biaya pendidikan kita, sawah-sawah pelan-pelan digusur oleh industrialisasi. Ternak kakek dan nenek kita satu per satu di jual untuk menyekolahkan kita. Maka , marilah kita persembahkan penghargaan setinggi-tingginya, pada semua orang-orang tua di Indonesia, atas segala keringat yang dikucurkan, atas segala air mata yang diteteskan, atas setiap jengkal tanah yang telah mereka ikhlaskan untuk pendidikan bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar