Oleh :
Yopi Eka Anroni,SE
Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Trisakti
I. Pendahuluan
Semenjak tanggal 1 Januari 2001 maka secara resmi desentralisasi mulai
dilaksanakan oleh pemerintah di Indonesia. Undang-undang Nomor 22/ 1999, dan diganti dengan UU No.32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah dan Undang-undang Nomor 25/1999 dan
diganti dengan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah telah dikeluarkan untuk mengatur pelaksanaan
desentralisasi tersebut. Menurut kedua undang-undang tersebut, Pemda mempunyai
peranan yang lebih penting dan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya serta memajukan daerah dibandingkan
dengan sistem sentralisasi. Pemda bersama DPRD mempunyai kewenangan yang lebih
besar untuk mengalokasikan anggaran daerah (APBD) sesuai dengan kebutuhan
daerah dan dapat memperluas kemungkinan partisipasi lokal dalam pembangunan.
Berkenaan dengan konteks ini, desentralisasi dapat memajukan pembangunan daerah
lebih efisien, berpihak kepada kelompok miskin (pro-poor) dalam menyediakan pelayanan publik yang lebih sesuai
dengan kebutuhan lokal (World Bank, 2000).
Tetapi, setelah tiga tahun
pelaksanaan desentralisasi di Indonesia, perilaku dan mekanisme Pemda yang
terdapat di daerah provinsi Sumatera Barat dalam mengalokasikan anggaran
sebelum dan setelah desentralisasi belum mengalami perubahan secara signifikan
(Syahruddin dan Werry, 2002). Struktur anggaran daerah sebelum dan setelah
pelaksanaan desentraliasi adalah hampir sama saja. Akibatnya, hampir seluruh
anggaran daerah di daerah provinsi Sumatera Barat tidak mencerminkan kebutuhan
daerah atau prioritas pembangunan daerah.
Terdapat tiga faktor utama yang dapat dikaitkan dengan prilaku dan
mekanisme yang tidak berubah tersebut. Pertama, sebahagian besar aparatur
daerah dan anggota DPRD yang terlibat
dalam penyusunan APBD belum dapat memahami secara mendalam semua aturan-aturan
yang berkenaan dengan anggaran daerah. Kedua, DPRD melakukan campur tangan
melebihi kewenangan dan fungsinya yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 22/1999 dan PP Nomor 105/ 2000. Pandangan ini
berdasarkan fakta yang menunjukkan bahwa Pemda cenderung mengikuti keinginan
dan permintaan beberapa kelompok anggota DPRD yang mempunyai kepentingan pada
saat penyusunan APBD (Syahruddin dan Werry, 2002; dan Yurnaldi, 2003). Dalam
kasus-kasus tertentu, kepala daerah terpaksa mengikuti kehendak anggota DPRD
karena penerimaan dan persetujuan
laporan pertanggung jawaban kepala daerah sangat tergantung dari persetujuan
DPRD. Ketiga, keterbatasan pandangan dan pemikiran Pemda telah
melanggengkan prilaku dan mekanisme lama dalam penyusunan APBD. Ketiga faktor
ini telah menyebabkan tidak terdapatnya konsistensi antara tujuan pembangunan
daerah dengan alokasi anggaran. Dengan kata lain, terdapat kecenderungan
ketidaksesuaian antara tujuan desentralisasi fiskal dengan pembangunan daerah.
Dalam dua tahun terakhir, beberapa kajian telah coba menyorot keterkaitan
antara struktur APBD dengan tujuan pembangunan daerah di provinsi Sumatera
Barat. Akan tetapi, kajian dan analisis yang mendalam untuk membandingkan
struktur anggaran daerah sebelum dan setelah desentralisasi pada satu daerah
masih sangat terbatas. Oleh karena itu kajian perbandingan yang komprehensif
tentang struktur anggaran daerah sebelum dan setelah desentralisasi sangat perlu
untuk dilakukan.
Sehubungan dengan itu, kota Padang dipilih sebagai daerah untuk kajian
kasus. Terdapat tiga alasan yang mendasari pemilihan tersebut. Pertama,
kota Padang mempunyai prestasi ekonomi terbaik (dalam ukuran pertumbuhan
ekonomi, pendapatan per kapita, pertumbuhan kesempatan kerja dan tingkat
kemiskinan) dibandingkan dengan daerah-daerah lain di provinsi Sumatera Barat. Kedua, daerah
ini mempunyai pendapatan per-kapita dan proporsi PAD tertinggi di provinsi
Sumatera Barat. Ketiga,
kegiatan ekonomi dalam bidang industri, perdagangan dan jasa terkonsentrasi di kota
Padang. Oleh karena itu, kota Padang mempunyai peluang yang lebih besar untuk
memajukan perekonomiannya, meningkatkan PAD serta melaksanakan desentralisasi
lebih baik, dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya.
Sebelum desentralisasi, alokasi anggaran harus mengikuti beberapa aturan dan disetujui oleh
tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Pemerintah pusat memberi mandat
pengeluaran dan Pemda secara sederhana hanya melaksanakan anggaran yang telah
ditetapkan tersebut. Pada sistem anggaran seperti ini, kemungkinan “missing
link” antara alokasi anggaran dan tujuan pembangunan daerah adalah sangat
besar. Tetapi, menurut dua undang-undang yang berkenaan dengan desentralisasi
di Indonesia, Pemda mempunyai peluang yang lebih besar untuk menyiapkan
anggaran sesuai dengan kebutuhan daerah dan yang menjadi perhatian masyarakat.
Oleh karena itu struktur anggaran dan alokasi APBD setelah pelaksanaan
desentralisasi seharusnya lebih baik dibandingkan dengan sebelum desentralisasi.
Salah satu indikasi anggaran yang
baik adalah terdapatnya konsistensi antara alokasi anggaran dengan tujuan
pembangunan daerah atau prioritas pembangunan daerah. Misalnya, jika pendidikan
adalah prioritas utama pembangunan daerah, maka proporsi anggaran bidang
pendidikan dari sisi pengeluaran seharusnya lebih besar dari sektor yang lain
dan kegiatan-kegiaan yang dilaksanakan harus kegiatan yang dapat mempercepat
pencapaian tujuan.
Sebaliknya, dari sisi penerimaan, Pemda mempunyai peluang yang lebih besar
untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dengan mengintensifkan dan memperluas
basis penerimaan. Meskipun Undang-Undang Nomor 34/2000 mengemukakan beberapa
kriteria untuk pajak dan retribusi daerah yang baru, Pemda masih mempunyai
ruang untuk meningkatkan penerimaan PAD dengan cara memperbaiki kualitas
manajemen pajak dan retribusi daerah.
Sampai saat ini belum diketahui apakah struktur dan alokasi APBD kota Padang
setelah desentralisasi lebih baik, sama atau lebih buruk dibandingkan dengan
sebelum desentralisasi. Juga belum diketahui apakah proses penyusunan anggaran
daerah dan dampaknya terhadap pembangunan daerah sebelum desentralisasi sama
atau berbeda dengan setelah desentralisasi. Oleh karena itu adalah sangat
penting untuk menganalisis proses, struktur dan dampak APBD kota Padang sebelum
dan setelah desentralisasi.
Berdasarkan pada permasalahan
yang dikemukakan di atas, maka tulisan ini bertujuan untuk menjawab beberapa
pertanyaan berikut: (1) Bagaimana perbedaan utama struktur APBD kota Padang
dari sisi penerimaan dan pengeluaran sebelum dan setelah desentralisasi. (2).
Apakah dampak APBD kota Padang terhadap pembangunan daerah. (3). Bagaimana
perbedaan utama antara kuantitas dan kualitas pelayanan publik yang disediakan pemerintah
kota Padang sebelum dan setelah desentralisasi.
II. Struktur Anggaran Dan
Pengaruhnya Terhadap
Pembangunan Daerah
Pada sistem desentralisasi, anggaran
daerah memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan
daerah. Masing-masing daerah mempunyai kewenangan untuk mengalokasikan anggaran
daerah sesuai dengan kebutuhan stakeholders
di daerah. Dengan demikian pelaksanaan desentralisasi fiskal akan dapat
mempercepat pembangunan daerah untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan,
mengurangi kesenjangan antar daerah dan masyarakat, serta pengalokasian dana
yang efektif dan efisien.
Namun peranan anggaran daerah dalam
menentukan keberhasilan pembangunan daerah sangat tergantung dari struktur
anggaran daerah. Struktur anggaran dapat dianalisis dari sisi penerimaan dan
pengeluaran. Struktur penerimaan daerah menjelaskan tingkat ketergantungan
daerah dari sumber penerimaan pemerintah yang lebih tinggi. Sebaliknya struktur
pengeluaran daerah dapat menjelaskan alokasi belanja menurut beberapa
klasifikasi pengeluaran daerah. Pada bahagian ini pembahasan difokuskan untuk
mengetahui perbedaan utama struktur APBD kota Padang dari sisi penerimaan dan
pengeluaran, dan menganalisis dampak APBD kota Padang terhadap pembangunan
daerah.
II.1. Struktur Penerimaan dan Pengeluaran Daerah
II.1.a.
Struktur Penerimaan Daerah
Penerimaan daerah dapat dibedakan atas sumber
internal dan sumber eksternal. Sumber penerimaan dari internal
adalah Pendapatan Asli Daerah. Sumber penerimaan internal utama
kelihatannya belum mengalami perubahan yang signifikan sebelum dan setelah
desentralisasi. Meskipun tidak terdapat perbedaan yang cukup berarti, namun
peraturan yang mengatur pajak dan retribusi daerah setelah desentralisasi
mengalami perubahan. Pajak dan retribusi daerah setelah desentralisasi yang
dibahas mengikuti peraturan yang baru.
Komponen sumber penerimaan eksternal ternyata berbeda sebelum dan setelah
desentralisasi. Sumber penerimaan yang berasal dari eksternal sebelum
desentralisasi terdiri dari : (a) bagi hasil pajak dan bukan pajak, (b)
sumbangan dan bantuan, dan (c) penerimaan pembangunan. Selanjutnya pendapatan
bagi hasil pajak dan bukan pajak terdiri dari bagi hasil pajak (Pajak Bumi dan
Bangunan dan bagi hasil pajak lainnya) serta bagi hasil bukan pajak (Badan
Diklat Departemen Dalam Negeri, BAKN, Departemen Keuangan dan USAID,1996). Seterusnya sumbangan dan bantuan terdiri dari Sumbangan Daerah
Otonom (SDO) dan bantuan. SDO ditujukan untuk membiayai pengeluaran rutin
(belanja pegawai). Bantuan dapat berbentuk “block grants”, bantuan
spesifik (specific grants) dan Daftar Isian Proyek (DIP). Block grants terdiri dari Inpres Dati I, Inpres Dati II dan Inpres
Desa. Bantuan spesifik terdiri dari bantuan untuk proyek-proyek tertentu
seperti Inpres Jalan, Inpres Sekolah Dasar, Inpres Kesehatan dan Inpres
Penghijauan. Daftar Isian Proyek (DIP) atau alokasi anggaran pembangunan sektoral adalah dokumen yang memberikan kewenangan
(otoritas) dari anggaran pemerintah pusat untuk proyek-proyek pembangunan yang
dilaksanakan oleh kantor-kantor wilayah departemen yang ada di daerah.
Penerimaan pembangunan adalah penerimaan Pemda dalam bentuk bantuan. Pinjaman
daerah pada umumnya bersifat jangka pendek untuk menutup defisit anggaran dalam
jumlah kecil.
Setelah desentralisasi,
komponen penerimaan eksternal terdiri dari: (a) dana perimbangan, (c) pinjaman
daerah, dan (d) lain-lain penerimaan yang sah. Menurut Undang-Undang 25/1999 dana perimbangan
terdiri dari: (a) Bagi Hasil Pajak dan penerimaan SDA, (b) Dana Alokasi Umum
(DAU) dan (c) Dana Alokasi Khusus (DAK). Jenis pajak yang dipungut oleh
Pemerintah Pusat yang dibagikan hasilnya dengan Daerah adalah Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pajak dan
penerimaan SDA bersumber dari kehutanan, pertambangan dan perikanan.
Berdasarkan pada komponen penerimaan
daerah tersebut, ternyata struktur anggaran sebelum dan setelah desentralisasi
tampaknya belum mengalami perubahan yang signifikan. Meskipun peranan
penerimaan PAD mengalami peningkatan setelah desentralisasi, namun peranannya
itu didalam struktur penerimaan daerah tampaknya tidak mengalami perubahan yang
sangat signifikan. Peningkatan penerimaan PAD tampaknya lebih kecil dari
peningkatan penerimaan dana transfer dari pemerintah pusat.
Peranan penerimaan PAD yang masih rendah tersebut sebenarnya tidak hanya dialami oleh kota Padang
saja, tetapi juga daerah lain di Indonesia. Hasil studi Syahruddin dan Werry
(2002), Robert S. (2003) menunjukkan bahwa lebih dari 50 %
daerah kabupaten dan kota yang mempunyai sumber penerimaan PAD kurang dari 5 %.
Jika berpedoman kepada angka rata-rata nasional, maka kontribusi PAD terhadap
struktur penerimaan kota Padang sudah relatif besar. Sebaliknya, jika
berpedoman kepada perkembangan kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah
sebelum dan setelah desentralisasi, maka pelaksanaan desentralisasi dalam
jangka pendek tampaknya belum mampu memperbaiki struktur penerimaan daerah.,
seperti dalam tabel 2.1. berikut.
Tabel 2.1.
Distribusi Penerimaan Pemerintah Kota
Padang Menurut Jenis Tahun Anggaran 1994/1995-2000 (%)
No
|
Jenis
Penerimaan
|
94/95
|
95/96
|
96/97
|
97/98
|
98/99
|
99/00
|
2000
|
1
|
Pendapatan Asli
Daerah
|
22,41
|
20,96
|
22,97
|
22,00
|
25,49
|
20,57
|
19,82
|
|
-
Pajak Daerah
|
7,47
|
7,05
|
7,79
|
7,67
|
14,72
|
13,42
|
12,56
|
|
-
Retribusi Daerah
|
13,44
|
12,97
|
14,16
|
13,11
|
9,82
|
5,93
|
6,31
|
|
-
Bagian Laba Usaha Daerah
|
0,26
|
0,22
|
0,21
|
0,16
|
0,39
|
0,30
|
0,43
|
|
-
Lain-lain Pendapatan
|
1,24
|
0,72
|
0,82
|
1,06
|
0,56
|
0,93
|
0,53
|
2
|
Pendapatan Yang
Berasal Dari Pemerintah Lebih Tinggi
|
72,34
|
71,71
|
69,70
|
73,94
|
72,44
|
78,88
|
79,53
|
|
-
Bagi Hasil Pajak
|
7,25
|
7,74
|
8,42
|
7,98
|
11,07
|
6,36
|
6,73
|
|
-
Bagi Hasil Bukan Pajak
|
5,11
|
5,34
|
5,25
|
4,07
|
1,00
|
0,10
|
0,10
|
|
-
Subsidi Daerah Otonom
|
46,50
|
48,24
|
45,18
|
49,68
|
44,60
|
56,61
|
59,18
|
|
-
Bantuan Pembangunan
|
13,49
|
10,39
|
10,84
|
12,22
|
15,42
|
12,78
|
13,52
|
|
-
Penerimaan Lainnya
|
0,00
|
0,00
|
0,00
|
0,00
|
0,35
|
3,03
|
0,00
|
3
|
Pinjaman Pemda
|
5,24
|
7,33
|
7,33
|
4,06
|
2,07
|
0,55
|
0,65
|
|
Jumlah
(Rp.juta)
|
100,00
|
100,00
|
100,00
|
100,00
|
100,00
|
100,00
|
100,00
|
57.200
|
68.223
|
72.848
|
94.938
|
93.595
|
145.011
|
122.239
|
Sumber
: APBD kota Padang 1994/1995-2000
Peranan PAD dalam penerimaan daerah ternyata mengalami
penurunan setelah desentralisasi. Meskipun penerimaan PAD secara nominal
setelah desentralisasi mengalami peningkatan 3 kali lipat,.namun penerimaan
transfer dana dari pemerintah pusat juga meningkat lebih 3 kali lipat setelah
desentraliasi. Akibatnya struktur dasar penerimaan daerah sebelum dan setelah
desentralisasi tidak mengalami perubahan yang cukup berarti. (tabel 2.2).
Tabel 2.2.
Distribusi Penerimaan Pemerintah Kota Padang
Menurut Jenis
Tahun Anggaran 2001-2004 (%)
No
|
Jenis
Penerimaan
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
1
|
Pendapatan Asli Daerah
|
13,92
|
17,18
|
16,60
|
18,12
|
|
- Pajak Daerah
|
9,29
|
10,89
|
10,20
|
11,41
|
|
- Retribusi Daerah
|
4,13
|
4,52
|
4,33
|
4,54
|
|
- Bagian Laba Usaha Daerah
|
0,31
|
0,77
|
1,00
|
1,17
|
|
- Lain-lain Pendapatan Asli Daerah
|
0,20
|
1,00
|
1,06
|
1,00
|
2
|
Dana Perimbangan
|
86,08
|
79,67
|
74,05
|
73,58
|
|
- Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
|
5,89
|
6,38
|
6,65
|
6,59
|
|
- Dana Alokasi Umum
|
53,80
|
69,36
|
63,93
|
63,27
|
|
- Dana Alokasi Khusus
|
15,33
|
0,00
|
1,08
|
1,39
|
|
- Dana Perimbangan Dari Propinsi
|
11,06
|
3,94
|
2,38
|
2,33
|
3
|
Lain-lain
Pendapatan Yang Sah
|
0,00
|
3,14
|
9,35
|
8,30
|
|
Jumlah
(Rp.juta)
|
100,00
|
100,00
|
100,00
|
100,00
|
305.527
|
337.144
|
415.330
|
430.110
|
Sumber: APBD Kota
Padang 2001-2004
II.1.b. Struktur Pengeluaran Daerah
Struktur pengeluaran tampaknya juga
belum mengalami perubahan yang cukup berarti. Proporsi pengeluaran rutin jauh
lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran untuk pembangunan atau belanja
modal dan belanja pelayan publik. Bahkan setelah desentralisasi proprosi
pengeluaran rutin cenderung mengalami peningkatan. Terdapat dua faktor utama
yang menyebabkan peningkatan tersebut. Pertama, pengeluaran pebangunan
setelah desentralisasi betul-betul untuk keperluan belanja modal saja.
Rehabilitasi tidak dimasukan ke dalam belanja modal. Kedua, pengeluaran untuk
belanja pegawai mengalami peningkatan akibat penyerahan sebahagian pegawai
kepada Pemda.
Struktur pengeluaran untuk pelayanan
dasar seperti pendidikan, kesehatan, penanaman modal dan usaha kecil, serta
bidang infrastruktur tampaknya juga belum mengalami perubahan secara
signifikan. Jika pengeluaran masing-masing bidang tersebut dirinci menurut
kegiatan, maka sulit untuk menarik kesimpulan prioritas kegiatan untuk
masing-masing bidang. Hal ini disebabkan oleh belum terdapatnya konsistensi
antara program dan kegiatan yang dilakukan.
Disamping itu, struktur pengeluaran daerah tampaknya juga
belum memperlihatkan keterkaitan yang jelas dengan pembangunan daerah. Meskipun
jumlah angggaran daerah mengalami peningkatan yang luar biasa setelah
desentralisasi, tetapi kinerja pembangunan daerah yang diukur dari beberapa
indikator pembangunan belum memperlihatkan perbedaan yang cukup berarti. Hal
ini mengindikasikan bahwa peningkatan alokasi anggaran ternyata belum mampu
mengatasi permasalahan ekonomi secara optimal di kota
Padang sampai
saat ini.
Kenyataan yang demikian adalah wajar
dan mungkin saja terjadi, sebab setelah dilakukannya desentralisasi, jumlah
pegawai di kota Padang mengalami peningkatan secara
signifikan. Hal ini terjadi karena sebagian besar dari pegawai yang sebelumnya
dibawah kewenangan pemerintah pusat tetapi setelah pelaksanaan desentralisasi
menjadi tanggung jawab Pemda kota Padang. Kenyataan yang
demikian jelas mengakibatkan proporsi APBD untuk belanja pegawa meningkat
secara tajam dan tinggi sekali.
Tabel 2.3
Alokasi Pengeluaran Rutin dan Belanja
Pembangunan (Belanja Modal) APBD Kota Padang, 1994/1995 - 2004
Tahun
|
Jumlah (Rp. Juta)
|
Distribusi (%)
|
Peningkatan (%)
|
|||
Rutin
|
Pemba-ngunan
|
Rutin
|
Pemba-ngunan
|
Rutin
|
Pemba-ngunan
|
|
Sebelum Desentralisasi
|
|
|
|
|
|
|
1994/1995
|
36.669
|
20.828
|
63,78
|
36,22
|
|
|
1995/1996
|
40.258
|
23.178
|
63,46
|
36,54
|
9,79
|
11,29
|
1996/1997
|
46.518
|
17.497
|
72,67
|
27,33
|
15,55
|
-24,51
|
1997/1998
|
59.018
|
27.272
|
68,40
|
31,60
|
26,87
|
55,86
|
1998/1999
|
63.576
|
25.478
|
71,39
|
28,61
|
7,72
|
-6,58
|
1999/2000
|
107.234
|
30.365
|
77,93
|
22,07
|
68,67
|
19,18
|
2000
|
97.145
|
31.374
|
75,59
|
24,41
|
-9,41
|
3,32
|
Setelah Desentralisasi
|
|
|
|
|
|
|
2001
|
184.841
|
42.141
|
81,43
|
18,57
|
90,27
|
34,32
|
2002
|
291.303
|
43.428
|
87,03
|
12,97
|
57,60
|
3,05
|
2003
|
356.134
|
31.086
|
91,97
|
8,03
|
22,26
|
-28,42
|
2004
|
409.096
|
18.114
|
95,76
|
4,24
|
14,87
|
-41,73
|
Sumber : APBD Kota Padang, Tahun Anggaran 1994/1995 - 2004
Namun yang menjadi pertanyaan adalah kenapa belanja
pembangunan setelah desentraliasi semakin kecil. Terdapat dua faktor utama yang dapat menjelaskan fenomena struktur anggaran
tersebut. Pertama, sebelum desentralisasi terdapat inkonsistensi
definisi belanja pembangunan. Misalnya, sebelum desentralisasi sebahagian besar
pengeluaran untuk rehabilitasi dan operasi diklasifikasikan sebagai belanja
pembangunan, sehingga proporsi anggaran pembangunan cenderung terlihat lebih
besar (Ediharsi, et.al, 1999).
Sementara setelah desentralisasi pengeluaran belanja modal/pembangunan
betul-betul pengeluaran yang dapat menambah nilai aset.
Kedua, proporsi belanja rutin yang semakin
meningkat setelah desentralisasi disebabkan oleh penyerahan pegawai dari
pemerintah pusat kepada Pemda. Terutama gaji guru dan tenaga kesehatan menjadi
tanggung jawab daerah. Misalnya, untuk tahun anggaran 2004, proporsi belanja
administrasi umum pada aparatur daerah dan pelayanan publik mencapai 76,7 %
dari seluruh total pengeluaran. Dengan demikian peningkatan proporsi
pengeluaran rutin setelah desentraliasi sebagai akibat penambahan jumlah
pegawai daerah dan pendefinisian anggaran rutin yang semakin baik.
Pertanyaan selanjutnya dari tabel 2.3.
adalah apa implikasi struktur anggaran yang demikian. Pertama,
fungsi anggaran daerah tidak dapat terlaksana secara efektif, karena sebahagian besar anggaran daerah telah terserap
untuk belanja rutin. Bahagian belanja
rutin yang terbesar adalah untuk keperluan pembayaran gaji pegawai. Oleh karena
anggaran pengeluaran digunakan untuk biaya rutin dan pemeliharaan, maka fungsi
anggaran sebagai alat penentu tujuan dan sasaran kebijakan tidak akan berjalan
dengan efektif.
Kedua, pembangunan infrastruktur tidak dapat ditingkatkan seandainya tidak ada
upaya lain dari pemerintah kota Padang untuk melakukan kerjasama dengan pihak
ketiga. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa pembangunan infrastruktur
adalah sangat diperlukan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan
kegiatan ekonomi daerah. Ketiga, hubungan anggaran daerah dengan
pertumbuhan ekonomi semakin lemah. Akai dan Sakata (2002) menyatakan bahwa
hubungan anggaran daerah dengan pertumbuhan ekonomi berdasarkan bukti empiris
adalah tidak konsisten. Namun ada kecenderungan terdapat hubungan positif antara anggaran
dengan pertumbuhan ekonomi. Hubungan posisitif tersebut akan terjadi jika
proporsi belanja modal relatif besar dan pelayanan yang diberikan untuk dapat
mendorong investasi swasta.
III. Kuantitas Dan Kualitas Pelayanan
Publik Sebelum Dan
Setelah Desentralisasi
Pengertian
pelayanan publik dalam pembahasan ini adalah pelayanan kebutuhan dasar yang
disediakan oleh Pemda. Pelayanan dasar tersebut meliputi pelayanan pendidikan,
kesehatan, dan pelayanan air bersih. yang menjadi kewenangan Pemda. Pemda harus
memberikan beberapa pelayanan dasar tersebut kepada masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraan mereka.
III.1.
Pelayanan Pendidikan.
Pelayanan bidang pendidikan secara umum
telah mengalami peningkatan dari tahun ketahun terutama dari sisi kuantitas.
Hal ini terlihat dari peningkatan jumlah sekolah mulai dari tingkat SD, SMP,
maupun SLTA. Jumlah sekolah dasar negeri memang belum mengalami peningkatan
selama 10 tahun terakhir, tetapi jumlah sekolah dasar swasta mengalami
peningkatan. Sedangkan jumlah SMP dan SLTA selama sepuluh tahun terakhir
tampaknya juga mengalami peningkatan, meskipun tidak dalam jumlah yang besar.
Selanjutnya
jumlah SMA dan SMK yang terdapat di kota Padang juga mengalami
peningkatan meskipun tidak signifikan. SMA sudah terdapat pada masing-masing
kecamatan, tetapi SMK hanya terdapat di 5 kecamatan saja (Kecamatan Lubuk
Begalung, Padang Timur, Padang Barat, Padang Utara dan Kecamatan Kuranji).
Sebahagian besar kondisi sekolah dapat dimasukan kedalam kategori baik. (tabel 3.1).
Tabel 3.1
Perkembangan Jumlah Sekolah di Kota Padang
Sebelum dan Setelah Desentralisasi
Tahun
|
SD
|
SLTP
|
SLTA
|
|||
Negeri
|
Swasta
|
Negeri
|
Swasta
|
Negeri
|
Swasta
|
|
Sebelum Desentralisasi
|
|
|
|
|
|
|
1994
|
366
|
56
|
32
|
39
|
12
|
29
|
1995
|
367
|
55
|
32
|
39
|
12
|
29
|
1996
|
367
|
55
|
32
|
41
|
12
|
29
|
1997
|
367
|
55
|
32
|
37
|
13
|
30
|
1998
|
367
|
53
|
34
|
37
|
13
|
31
|
1999
|
368
|
53
|
34
|
37
|
14
|
31
|
2000
|
366
|
58
|
34
|
36
|
14
|
30
|
Setelah Desentralisasi
|
|
|
|
|
|
|
2001
|
362
|
50
|
34
|
39
|
14
|
31
|
2002
|
361
|
55
|
35
|
36
|
14
|
30
|
2003
|
354
|
60
|
35
|
38
|
14
|
31
|
2004
|
354
|
61
|
35
|
38
|
14
|
31
|
Sumber: BPS, kota Padang Dalam Angka dalam berbagai
terbitan
Kualitas pelayanan kelihatannya juga
sudah menunjukkan perkembangan yang cukup baik dan menggembirakan bila dilihat
dari indikator rasio guru dengan murid. Meskipun berdasarkan indikator ini
semua tingkat pendidikan ternyata belum mengalami perubahan yang signifikan
namun rasio guru dengan murid tampaknya sudah mendekati standar pelayanan yang
ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Hasil pelayanan bidang pendidikan
secara umum boleh dikatakan cukup baik. APM untuk sekolah dasar (SD) mengalami
peningkatan yang cukup berarti, dimana angka ini cenderung lebih baik setelah
desentralisasi. Tetapi APM untuk SD belum mencapai angka 100 %. Ini berarti
bahwa program wajib belajar 9 tahun dapat dikatakan belum tuntas. Sementara
itu, APM untuk SMP pada tahun 2003 sebesar 93,8 menjelaskan bahwa masih terdapat 6,2 % penduduk usia sekolah
(13-15) tahun yang tidak sekolah di kota
Padang, meskipun angkanya tidak begitu besar, namun hal ini merupakan tantangan
yang cukup besar yang dihadapi oleh Pemda. Begitu juga dengan angka APM SLTA
yang relatif jauh lebih rendah, dimana hanya sebesar 80,4 tahun 2003.
Tabel 3.2.
Perkembangan APM SD, SLTP dan SLTA Sebelum dan Sesudah Desentralisasi
Tahun
|
APM
|
||
SD
|
SLTP
|
SLTA
|
|
Sebelum Desentralisasi
|
|
|
|
1994
|
86,2
|
76,4
|
63,1
|
1995
|
90,2
|
79,8
|
72,3
|
1996
|
90,4
|
85,2
|
83,0
|
Setelah Desentralisasi
|
|
|
|
2001
|
98,6
|
93,1
|
82,7
|
2002
|
98,0
|
93,0
|
82,6
|
2003
|
98,2
|
93,8
|
80,4
|
Sumber : Dinas Pendidikan Kota Padang, 2005
III.2.
Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan dari tahun ketahun
diupayakan untuk meningkat secara terus menerus. Hal ini terlihat dari
terjadinya peningkatan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan sebelum dan
sesudah desentralisasi. Meskipun peningkatannya belum signifikan bila
dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk, namun suatu hal yang cukup
menggembirakan adalah pembangunan sarana pelayanan kesehatan sudah menyebar
kedaerah pinggiran kota. Pembangunan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan
yang cenderung mengalami peningkatan adalah jumlah rumah sakit khusus dan
Puskesmas (tabel 3.3). Jumlah rumah sakit khusus tampaknya mengalami peningkatan yang cukup
signifikan, dimana sebelum desentralisasi hanya 3 unit kemudian naik menjadi 8 unit pada tahun 2004.
Tabel 3.3
Perkembangan Jumlah Tempat
Pelayanan Kesehatan
Sebelum dan Setelah Desentralisasi di Kota
Padang
Tahun
|
Rumah
Sakit Umum
|
Rumah Sakit Khusus
|
Puskesmas
|
||
Propinsi
|
Daerah
|
Swasta
|
|||
Sebelum
Desentralisasi
|
|
|
|
|
|
1994
|
1
|
3
|
9
|
3
|
65
|
1995
|
1
|
3
|
9
|
7
|
65
|
1996
|
1
|
3
|
11
|
4
|
66
|
1997
|
1
|
4
|
11
|
4
|
66
|
1998
|
1
|
5
|
12
|
4
|
67
|
1999
|
1
|
5
|
12
|
4
|
69
|
2000
|
1
|
6
|
7
|
4
|
69
|
Sesudah
Desentralisasi
|
|
|
|
|
|
2001
|
1
|
6
|
7
|
6
|
74
|
2002
|
1
|
6
|
9
|
8
|
74
|
2003
|
1
|
6
|
9
|
8
|
74
|
2004
|
1
|
6
|
9
|
8
|
70
|
Sumber : BPS, Kota Padang Dalam Angka dalam berbagai terbitan
Selanjutnya, hasil pelayanan kesehatan dapat dicerminkan dari
indikator hasil (outcome) pelayanan
kesehatan. Secara umum dapat dinyatakan bahwa derajad kesehatan masyarakat kota
Padang mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari adanya perubahan yang cukup
signifikan dari beberapa indikator tingkat kesehatan penduduk (tabel 3.4).
Tabel 3.4
Perkembangan Indikator Tingkat Kesehatan Penduduk
Kota Padang Sebelum dan Setelah Desentralisasi
Periode/ Tahun
|
Indikator
Kesehatan Penduduk
|
|
Usia Harapan
Hidup (Tahun)
|
Angka Kematian Bayi per 1000 KH
|
|
Sebelum Desentralisasi
|
|
|
1994
|
64,71
|
38
|
1995
|
66,52
|
36
|
1996
|
67,24
|
35
|
1997
|
67,91
|
34
|
1998
|
68,33
|
34
|
1999
|
68,84
|
30
|
2000
|
69,81
|
30
|
Setelah Desentralisasi
|
|
|
2001
|
70,15
|
28
|
2002
|
70,43
|
27
|
2003
|
71,08
|
26
|
2004
|
71,50
|
25
|
Sumber: Dinas
Pendidikan Kota Padang, 2005
IV.3. Kerjasama Dalam
Pembangunan Daerah
Dalam rangka mempercepat proses pembangunan, Pemda kota
Padang telah
berupaya untuk melakukan kerjasama pembangunan dengan berbagai pihak. Inisiatif
kerjasama ini dalam beberapa tahun terakhir tendensinya semakin meningkat
terutama untuk mendatangkan para investor untuk menanamkan modalnya di kota Padang.
Pada tahun 1990-1991 pemerintah kota Padang telah melakukan kerjasama dengan pemerintah kota Weldehim, Jerman. Kerjasama ini lebih dikenal dengan kerjasama kota
kembar (sister city). Tujuan yang
ingin dicapai melalui kerja sama ini adalah untuk mengatasi masalah
infrastruktur dalam penanggulangan banjir dan perbaikan lingkungan dan
permukiman. Kerjasama ini dilakukan atas inisiatif Pemda dan difasilitasi oleh
pemerintah pusat. Hasil yang telah dicapai dari kerjasama ini dimana kota Padang telah memperoleh penghargaan “Adipura” dan
“Adipura Kencana”.
Selanjutnya sebelum pelaksanaan desentralisasi,
pemerintah kota Padang juga mengadakan kerjasama dengan kota Seremban,
Malaysia. Kerjasama ini juga lebih dikenal dengan “sister city”. Kerjasama ini dimaksudkan dalam rangka pengembangan
kawasan wisata “Siti Nurbaya”. Tetapi kerja sama ini belum menunjukan hasil
sesuai dengan harapan, karena investor dari Malaysia tersebut tidak jadi
menanamkan modalnya untuk membangun hotel dan kawasan pariwisata tersebut.
Tidak terealisirnya kerjasama ini disebabkan oleh terjadinya krisis moneter
yang mendorong masyarakat untuk menuntut harga tanah yang jauh lebih tinggi dan
tidak sesuai lagi dengan MOU yang telah disepakati.
Pada era pelaksanaan desentralisasi, pemerintah kota
Padang juga belum dapat melakukan atau membuat kesepakatan untuk melakukan
kerjasama. baik dengan luar negeri maupun Pemda lainnya. Hal ini barangkali
disebabkan oleh beberapa hal antara lain : Pertama, Pemda belum memahami betul substansi dan hakekat dari
pelaksanaan desentralisasi tersebut. Seperti yang dikemukakan Simajuntak
(1999), banyak Pemda yang belum memahami substansi “otonomi daerah” yang pelaksanaannya dimulai pada tanggal 1
Januari 2001. Menurut pandangannya, otonomi daerah lebih banyak dipahami
sebagai bersifat parsial tanpa memperhatikan keterkaitan sosial ekonomi daerah
dengan daerah lainnya. Akibat pemahaman seperti ini, maka fokus Pemda lebih
banyak mengutamakan pembangunan daerah sendiri tanpa melihat keterkaitan dengan
daerah lainnya dan berusaha meningkatkan PAD semaksimal mungkin. Rendahnya pemahaman tentang substansi otonomi
daerah oleh pejabat dan anggota DPRD untuk daerah Sumatera Barat didukung oleh
hasil penelitian Syahruddin dan Werry (2002). Oleh sebab itu, pemahaman yang
masih rendah tentang substansi otonomi daerah oleh pejabat dan anggota DPRD
diperkirakan sebagai salah satu penyebab belum dilakukannya kerjasama antar Pemda.
Kedua, walikota Padang yang lama pada awal pelaksanaan
desentralisasi menghadapi masalah hukum. Puncak dari masalah yang dihadapi ini
adalah walikota tersebut diberhentikan sementara (non-aktif) sampai ditetapkan keputusan hukumnya. Proses
penyelesaian hukum ini berlansung lebih dari satu tahun (2001-2003), sehingga
Sekretaris Daerah ditunjuk sebagai pelaksana tugas harian walikota. Dalam
kondisi seperti ini tentu kebijakan-kebijakan strategis untuk pembangunan tidak
dapat diambil oleh pelaksana tugas harian walikota.
Meskipun demikian, dalam
tahun terakhir ini kerjasama dengan pihak swasta, LSM dan perguruan tinggi
kelihatannya mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Kerjasama yang
dilakukan dengan pihak swasta sebelum dan setelah disentralisasi diperlihatkan
pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1
Daftar Kerjasama Pemda Kota
Padang dengan Pihak Swasta
No
|
Periode/ Bidang Kerjasama
|
Mitra Kerjasama
|
Objek Kerjasama
|
Keterangan/ Hasil
|
|
Sebelum Desentralisasi
|
|
|
|
1
|
Bidang Pariwisata
|
Pihak swasta Malaysia
|
Membangun hotel di kawasan wisata Siti
Nurbaya (Gunung Padang)
|
Belum dapat direalisasi
|
Pihak swasta Perancis
|
Pembangunan Kawasan Pulau Sikuay
|
Suadah beroperasi semenjak tahun 1990
|
||
|
Setelah
Desentralisasi
|
|
|
|
1
|
Bidang Perdagangan
|
PT. Inti Griya Prima
Sakti, 2004
|
Membangun Mall di
bekas Terminal Lintas Andalas (TLA) dengan sistem BOT
|
Proses pembangunan
sedang berjalan dan mencapai 65 %
|
PT. Cendana G Sekawan, 2004
|
Membangun PPM Goan Hot
dengan system BOT)
|
Mulai pelaksanaan proyek
|
||
2
|
Bidang Pariwisata
|
Erick Camerun, Australia
|
Membangun Kawasan Muaro Padang
|
Penandatangan MOU, realisasi belum ada
|
Pemda Sumut dan Bali,
2004
|
Pengembangan Pariwisata
|
Sedang dalam proses (sudah ada MoU).
|
||
PHRI, ASITA, TAKSI, 2005
|
Pengembangan Kawasan Wista Bungus
|
Belum ada realisasi
|
||
PT. Zocorindo
|
Pembangunan Hotel di
pantai Padang
|
Proses Pembebasan Lahan
|
||
3
|
Bidang Perikanan dan Kelautan
|
Pengusaha Ikan Hias
dan Rumput Laut, 2003
|
Pengembangan ikan hias
dan Rumput Laut
|
Sudah berproduksi dan
diekspor ke Malaysia
|
Pemda Jepara
|
Pembenihan bibit ikan gurapu
|
Sudah berproduksi
|
Sumber :
Bappeda Kota Padang,
2005.
Setelah pelaksanaan desentralisasi
Pemerintah kota Padang telah melakukan kerjasama dengan pihak
swasta untuk mengembangkan komoditi unggulan (perdagangan, pariwisata,
perikanan dan kelautan). Dari beberapa kesepakatan kerjasama dengan pihak
swasta tersebut, beberapa proyek telah direalisir seperti terlihat pada Tabel
4.2 berikut.
Kerjasama dalam mengembangkan komoditi unggulan (pariwisata) juga telah
diupayakan oleh Pemda kota Padang, meskipun hasilnya belum optimal.
Diantara kerjasama yang sedang diupayakan oleh Pemda kota
Padang adalah membangun jaringan informasi dan
promosi pengembangan pariwisata dengan Pemda Sumatera Utara dan Bali. Akan tetapi Pemda kota
Padang memang belum membangun kerja sama dengan
daerah tetangga yang memiliki potensi wisata cukup besar seperti Mentawai dan kota Bukittinggi.
Selanjutnya kerjasama yang dibangun dengan berbagai institusi pemerintah
baik perguruan tinggi, lembaga penelitian dan LSM, kelihatannya sangat membantu
Pemda dalam menggerakkan roda pembangunan. Sebab dengan adanya kerjasama ini,
maka keterbatasan sumberdaya manusia Pemda dapat diatasi secara berkelanjutan.
Tabel
4.2
Daftar
Kerjasama Pemda Kota Padang dengan Pihak Institusi Pemerintah,
Konsultan
dan LSM
No
|
Periode/Bidang Kerjasama
|
Mitra Kerjasama
|
Objek Kerjasama
|
Keterangan/ Hasil
|
1
|
Perencanaan Pembangunan
|
Universitas Andalas
|
·
Menyusun Poldas, Propeda dan Renstra Daerah (2001-2005)
·
Menyusun draf awal Program Pembangunan Jangka
Menengah (2005-2020
·
Menyusun Pengembangan Kawasan Pasar Bungus (2000)
|
Telah dijadikan Perda
|
Center for Participatory
Planning Pascasarjana
|
·
Penyusunan Musrenbang Kelurahan Tahun 2005
|
Sudah MoU
|
||
Konsultan
|
·
Evaluasi dan Revisi Uraian Tugas Instansi Daerah
·
Revisi Tata Ruang Kota Padang
·
Master Plan Kota Padang
·
Pengembangan Pasar-Pasar Pembantu
·
Penyusunan Musrenbang secara partisipatif (Perform Project)
|
SK Walikota
Telah dijadikan Perda
Tersusunnya Musrenbang Kelurahan
|
||
LIPI
|
·
Pengembangan Terumbu Karang dan Ikan Hias
|
Ikan hias
telah diekspor ke Malaysia
|
||
2
|
Penelitian
|
Universitas Andalas
|
·
Pengembangan Produk Unggulan, 2002
·
Pengembangan Kawasan Ekonomi, 2003
|
|
Universitas Bung Hatta
|
·
Pengembangan Wilayah Pesisir, 2004
|
|
||
3.
|
Pelatihan
|
PSKD Universitas Andalas
|
·
Pelatihan Perencanaan Pembangunan, 2003/2004
·
Pelatihan Dana Hibah, 2003/2004
·
Kursus Keuangan Daerah, 2004
|
Meningkatnya
kemampuan aparatur Pemda Kota Padang
|
Perform Project
|
·
Pelatihan Perencanaan Partisipatif untuk
stakeholders Kota Padang
·
Pelatihan Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif
|
Meningkatnya pengetahuan dan
kemampuan aparatur Pemda Kota Padang
|
||
4.
|
Penyusunan Anggaran
|
PT Usadi Sistemindo
|
·
Menyusun Anggaran Berbasis Kinerja (Performance
Budgeting), 2003
|
Hasil belum seperti yang
diharapkan
|
Sumber: Bappeda Kota Padang,
2005
Namun setelah keluarnya Kepres Nomor 80/ 2003 tentang Pengadaan Barang
dan Jasa terjadi pergeseran pola kerjasama. Kerjasama dengan pihak konsultan
swasta mengalami peningkatan karena terdapat kesalahan dalam memahami substansi
Kepres Nomor 80/2003 oleh sebahagian aparat Pemda. Padahal dalam Kepres
tersebut dengan tegas menyatakan bahwa “penyediaan jasa penelitian,
perencanaan, uji labotorium dapat dilaksanakan oleh perguruan tinggi negeri dan
institusi sejenis pemerintah”.
IV.4. Terobosan Kebijakan Pemda
IV.4.a. Meningkatkan
Efisiensi Anggaran dan Efektifitas Pelayanan
Dalam rangka
meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayanan kepada masyarakat (publik),
maka pemerintah kota Padang telah melakukan beberapa kebijakan.
Salah satu kebijakan yang dilakukan adalah melalui restrukturisasi SOTK pada
tahun 2004. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah kota
Padang memiliki
struktur organisasi yang boleh dikatakan terlalu gemuk. Oleh sebab itu,
walikota baru melakukan perombakan dalam struktur organisasi tata keperintahan
(SOTK) kota Padang pada tahun 2004.
Tujuan
perombakan SOTK tersebut selain untuk meningkatan efisiensi, juga untuk
memenuhi tuntutan PP 08 Tahun 2003. Berdasarkan SOTK baru, jumlah dinas
diturunkan dari 18 menjadi 14, Badan menjadi 7 dan kantor sebanyak 2 (dua)
buah. Meskipun sudah terjadi perubahan SOTK, perubahan tersebut diperkirakan
tidak banyak membawa pengaruh terhadap efisiensi APBD dan efektifitas pelayanan
karena struktur organisasinya masih saja gemuk. Jumlah eselon II hanya
berkurang sebanyak 1 buah saja. Pada hal pemerintah kabupaten Tanah Datar
berani menurunkan jumlah eselon II sebanyak 13 buah. Dengan pengurangan esalon
II sebanyak 13 tersebut, pemerintah kabupaten Tanah Datar dapat melakukan
pengehematan biaya rutin yang luar biasa. Dengan demikian perombakan SOTK kota Padang
pada tahun 2004 diperkirakan belum dapat meningkatkan efisiensi penggunaan
anggaran daerah secara signifikan.
Terobosan
peningkatan efisiensi dalam bentuk lain sampai tahun 2004 belum ada
dilaksanakan oleh pemerintah kota Padang. Sementara
daerah lain telah melakukan berbagai bentuk kebijakan efisiensi (penghematan)
anggaran. Misalnya, daerah kabupaten Tanah Datar telah menerapkan kebijakan cash management dan sewa beli kenderaan
dinas untuk keperluan pejabat daerah yang dianggap memiliki kemampuan dan
memenuhi syarat.
Kebijakan cash management yaitu
pola manajemen rekayasa keuangan yang terdapat dalam kas daerah. Menurut bupati
kabupaten Tanah Datar (Masriadi Martunus, 2005) melalui gebrakan ini ternyata
telah dapat menghemat APBD dan meningkatkan penerimaan PAD secara signifikan.
Akibat terjadinya beberapa penghematan, pemerintah kabupaten Tanah Datar dapat
meningkatkan investasi daerah berupa penyertaan modal ke BPD, tanpa mengurangi
efektifitas pelayanan terhadap masyarakat.
Inisiatif dan terobosan lain yang dikembangkan oleh Pemerintah
KabupatenTanah Datar yang perlu untuk dicontoh juga adalah peningkatan
profesionalisme pengelolaan badan usaha milik daerah (BUMD) melalui kerjasama
dengan PERFORM PROJECT. Kebijakan ini tampaknya telah dapat meningkat kinerja
pengelolaan PDAM dengan mendapat prestasi terbaik di Indonesia dan memperoleh
penghargaan dari USAID dan Pemda provinsi Sumatera Barat.
Kemudian pemerintah kabupaten Solok dalam menciptakan efisiensi anggaran juga
telah melakukan kebijakan pembayaran tunjangan daerah kepada seluruh pegawai.
Tunjangan daerah ini bertujuan untuk menggantikan segala macam honor-honor yang
selama ini dikeluarkan. Dengan demikian penghematan (effisiensi) anggaran dapat
dilakukan dengan menghapus berbagai bentuk honor yang dikeluarkan selama ini.
Disamping itu kebijakan ini juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan
pendapatan bagi pegawai pemda, sehingga balas jasa yang diberikan benar-benar
berdasarkan kinerja yang dicapai oleh aparatur.
IV.4.b. Mendorong Pertumbuhan Ekonomi
dan Penurunan Pengangguran
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan
pengurangi pengangguran, pemerintah kota Padang memfokuskan pada tiga bidang
pembangunan, yaitu perdagangan dan jasa, pariwisata dan perikanan dan kelautan.
Meskipun berbagai upaya sudah dilakukan, namun sampai saat ini belum ada dampak
yang signifikan untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan.
Pola pengembangan ketiga
bidang pembangunan prioritas ini nampaknya masih bersifat klasik dan belum
berbeda dari pola-pola sebelum desentralisasi. Kerjasama dalam bidang
pariwisata yang telah dikemukakan pada Tabel 4.2 belum satupun yang terealisasi.
Padahal realisasi kerjasama bidang pariwisata tersebut sangat penting untuk
memajukan ekonomi kota Padang. Oleh sebab, pemerintah kota Padang perlu
menjajaki lagi agar kerjasama yang telah dirintis tersebut dapat dilaksanakan.
Disamping itu, pemda kota
Padang dalam tahun terakhir ini juga sedang mencoba untuk menerapkan pola
pengembangan ekonomi lokal partisipatif. Pengembangan ekonomi lokal tersebut
dengan menggunakan pendekatan klaster dengan melibatkan semua stakeholders
terkait seperti yang dikembangkan oleh daerah kabupaten Agam. Dalam hal ini,
tim pemda Padang telah mengunjungi dan menjajaki kerjasama dengan pemda
kabupaten Agam khusus untuk mengembangkan klaster industri kerajinan tekstil.
IV.4.c. Kebijakan Pengentasan Kemiskinan
Angka kemiskinan masih merupakan salah satu
persoalan yang cukup serius bagi pemda kota Padang. Meskipun tingkat kemiskinan
relatif rendah, tetapi jumlah absolut penduduk dan keluarga miskin terus
mengalami peningkatan. Tingkat kemiskinan di kota Padang dilaporkan sebesar 10,51 % (Media BAZ, 2004).
Kantong-kantong kemiskinan kota Padang berada di kawasan pinggir kota seperti
sekitar Terminal Air Pacah, Bungus, Sungai Pisang, Bukit Gado-gado dan kawasan lainnya.
Dalam rangka mengatasi kemiskinan ini, Pemda Padang
juga telah berupaya untuk menggerakkan partisipasi masyarakat yakni melalui
pengumpulan zakat. Dana zakat ini nantinya digunakan sebagai modal usaha bagi
masyarakat yang tidak mampu tersebut untuk meningkatkan kegiatan ekonomi
mereka. Namun demikian, pola pengetasan kemiskinan yang sedang dikembangkan
oleh kota Sawahlunto sebenarnya juga baik untuk dicontoh. Kota Sawahlunto telah
melakukan kerjasama dengan berbagai pihak untuk pengentasan kemiskinan di
daerah tersebut. Pada tahun 2005 telah dilakukan ditanda tangani kerjasama Bank
Indonesia Cabang Padang, Universitas Andalas, Bank Nagari dan pemerintah kota Sawahlunto
untuk mengentaskan sekitar 3000 keluarga miskin. Dalam kerjasama tersebut Bank Indonesia
bekerjasama dengan Universitas Andalas untuk mengindentifikasi keluarga miskin
dan menyusun data base keluarga miskin tersebut menurut peluang-peluang dan
potensi ekonomi yang dapat dimiliki keluarga miskin. Kemudian pemerintah kota Sawahlunto
bekerjasama dengan Bank Nagari dengan komposisi 60:40 menyediakan dana untuk
pengembangan usaha keluarga miskin yang bankable.
VI. Kesimpulan dan Rekomendasi
VI.1. Kesimpulan
Pembahasan ini
berkaitan erat dengan struktur anggaran daerah dan pengaruhnya terhadap
pembangunan daerah. Tujuan pembahasan ini secara spesifik adalah menganalisis
struktur anggaran kota Padang
dari sisi penerimaan dan pengeluaran sebelum dan setelah desentralisasi dan
pengaruhnya terhadap pembangunan kota Padang. Disamping itu juga
untuk mengkaji perbedaan kuantitas dan kualitas pelayanan
publik sebelum dan setelah desentralisasi, membahas respon pemerintah dan DPRD kota Padang terhadap
aspirasi masyarakat dan terobosan-terobosan yang dilakukan oleh pemerintah kota Padang
untuk mempercepat kegiatan pembangunan, akuntabilitas publik dan dampak peraturan
daerah terhadap iklim usaha.
Kajian ini
menggunakan data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai instansi di lingkungan
pemerintah kota Padang. Periode pembahasan adalah periode
sebelum desentralisasi (1994-2000) dan periode pelaksanaan desentralisasi (2001-2004).
Dalam pembahasan dilakukan beberapa penyesuaian yang diperlukan agar data
sebelum dan setelah desentralisasi dapat dibandingkan. Selanjutnya dalam pembahasan lebih banyak
digunakan istilah desentralisasi, karena inti dari otonomi daerah adalah
desentralisasi. Kemudian fokus pelaksanaan dari desentralisasi tersebut adalah
desentralisasi fiskal. Merujuk kepada fokus pembahasan kajian ini, maka
penggunaan istilah desentralisasi lebih tepat dibandingkan dengan istilah
otonomi daerah.
Bedasarkan pengkajian
dan pembahasan yang dilakukan maka diperoleh beberapa hasil kajian utama
sebagai berikut:
a.
Belum terdapat perbedaan yang signifikan tentang struktur
anggaran sebelum dan setelah desentralisasi baik dari sisi penerimaan maupun
sisi pengeluaran.
b.
Penerimaan PAD mengalami peningkatan yang cukup signifikan
setelah desentralisasi, tetapi peranannya dalam struktur penerimaan daerah belum
mengalami perubahan karena peningkatan penerimaan PAD lebih kecil dari
peningkatan penerimaan dana transfer dari pemerintah pusat (dana perimbangan).
Kenyataan ini menunjukkan bahwa setelah desentralisasi penerimaan daerah tetap
sangat tergantung dari pemerintah pusat.
c.
Setelah desentralisasi proporsi pengeluaran rutin ternyata
jauh lebih besar dari belanja pembangunan karena pengeluaran pembangunan
setelah desentralisasi benar-benar digunakan untuk keperluan belanja publik dan
pelayanan. Sebaliknya pengeluaran untuk belanja pegawai ternyata mengalami
peningkatan sebagai akibat dari penyerahan sebahagian pegawai pusat (pegawai
kanwil) kepada Pemda. Sebagai konsekuensinya beberpa fungsi anggaran daerah
belum dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan.
d.
Struktur pengeluaran untuk bidang pendidikan, kesehatan,
perindag, serta bidang infrastruktur juga belum mengalami perubahan yang cukup
berarti. Jika pengeluaran masing-masing bidang tersebut dirinci menurut
kegiatan, maka sulit ditarik kesimpulan tentang prioritas kegiatan untuk
masing-masing bidang pembangunan. Hal ini disebabkan oleh belum terdapatnya
konsistensi antara program dan kegiatan yang dilakukan.
e.
Tidak terdapat keterkaitan yang jelas antara struktur
pengeluaran daerah kota Padang dengan pembangunan daerah. Meskipun
jumlah angggaran daerah mengalami peningkatan yang cukup besar setelah
desentralisasi, namun kinerja pembangunan daerah yang diukur dari beberapa
indikator pembangunan belum memperlihatkan perbedaan yang besar. Salah satu
penyebabnya adalah anggaran lebih banyak diserap untuk keperluan anggaran rutin
(belanja aparatur) saja.
f.
Secara umum belum terdapat perbedaan kuantitas dan kualitas
pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, air bersih) sebelum dan setelah
desentralisasi di kota Padang. Meskipun terdapat peningkatan jumlah
fasilitas pelayanan setelah desentralisasi, namun peningkatan tersebut belum
mampu meningkatkan kualitas pelayanan secara optimal.
g.
Terdapat beberapa kelemahan yang melekat pada DPRD kota Padang
yang lama, terutama dalam menjaring dan menanggapi aspirasi dan kebutuhan
masyarakat. Dalam hal ini, DPRD kota Padang belum dapat menanggapi
aspirasi, kebutuhan dan kepentingan masyarakat sebagaimana mestinya. Akan
tetapi DPRD yang sekarang ini tampaknya memiliki komitmen dan kemauan politik
untuk berubah,baik dalam menyerap aspirasi masyarakat maupun dalam masalah
efisiensi dan efektifitas penggunaan anggaran.
h. LAKIP yang disampaikan pemerintah kota Padang
kelihatannya masih relatif sedikit dalam mengemukakan tentang dampak kegiatan
terhadap pembangunan masyarakat. Oleh sebab itu, LAKIP yang disusun oleh
pemerintah kota Padang belum tepat disebut sebagai laporan pertanggungjawaban
kinerja, tetapi tidak lebih dari laporan pelaksanaan kegiatan oleh
masing-masing instansi pelaksana di lingkungan pemerintah kota Padang setiap
tahunnya.
i.
Beberapa kerjasama yang dilakukan dengan
berbagai pihak dan terobosan kebijakan oleh pemerintah kota Padang kelihatannya
belum maksimal. Sementara daerah lain, seperti kabupaten Tanah Datar dan kota Sawahlunto
telah melakukan berbagai terobosan untuk membangun daerah dan meningkatkan
efisiensi anggaran dan efektifitas pelayanan publik. Berdasarkan perkembangan
yang terjadi saat ini, maka kota Padang dapat dikatakan agak tertinggal dalam
melakukan inisiatif dan terobosan kebijakan pembangunan ekonomi. Konsekuensinya
angka pengangguran dan kemiskinan terus mengalami peningkatan sesudah
desentralisasi.
j.
Perda yang
berkaitan dengan pajak daerah dapat dikatakan tidak bermasalah dan menimbulkan
berpengaruh negatif terhadap kegiatan ekonomi daerah. Namun demikian terdapat
tiga Perda yang berkaitan dengan Retribusi Perizinan tertentu dapat dikategorikan
sebagai perda yang dapat menghambat kegiatan atau tidak mendorong kegiatan
ekonomi daerah. Karena ini Perda ini merupakan salah satu hambatan dalam
memulai usaha, maka ketiga Perda tersebut perlu direvisi atau dibatalkan.
k. Setelah desentralisasi Pemda kota Padang juga sudah
memberikan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah, yaitu
kecamatan dan kelurahan untuk memungut retribusi IMB. Disamping itu Pemda kota Padang
juga telah mengalokasikan sejumlah dana untuk mendukung pengembangan sumber
daya yang ada di tingkat kecamatan dan kelurahan tersebut. Hal ini dimaksudkan
dalam rangka mendorong pengembangan ekonomi lokal (ekonomi kerakyatan).
VI.2. Rekomendasi
Sesuai dengan kesimpulan dari hasil pembahasan ini ini, maka dapat direkomendasikan
beberapa hal berikut:
a.
Alokasi anggaran untuk mendukung
beberapa sektor unggulan (industri, perdagangan dan pariwisata) hendaklah
dilakukan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel sehingga membawa
dampak yang signifikan bagi pembangunan kota Padang.
b.
Salah satu cara yang dapat ditempuh
untuk mengalokasikan anggaran secara efektif dan efisien adalah dengan jalan
merampingkan lagi SOTK yang telah
dirubah pada tahun 2004 dengan mengurangi jabatan eselon serasional mungkin.
Kemudian pemerintah kota Padang juga dapat melakukan terobosan yang telah
dilaksanakan oleh Pemda lainnya seperti kabupaten Tanah Datar, kota Sawahlunto
dan kabupaten Solok, terutama dari sisi efisiensi dan effektifitas penggunaan
anggaran daerah.
c.
Fokus penggunaan anggaran sebelum dan
setelah desentralisasi yang lebih banyak
untuk pembangunan fisik hendaklah dirubah, sehingga dapat digunakan untuk
mendukung kerjasama baik antar daerah, dengan pihak swasta, maupun perguruan
tinggi dalam mendorong pembangunan ekonomi kota Padang.
d.
Kegiatan-kegiatan yang ditetapkan pada
setiap bidang pembangunan, terutama bidang pelayanan dasar (pendidikan,
kesehatan, dan air minum) perlu dilaksanakan secara konsisten, sehingga tujuan
dari masing-masing bidang pembangunan dapat dicapai.
e.
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan
dasar dan percepatan pembangunan di kota Padang maka inisiatif dan upaya-upaya
kerjasama dan kemitraan yang sudah dibangun oleh Pemda dengan investor,
perguruan tinggi, lembaga internasional, LSM dan lembaga lainnya perlu lebih
ditingkatkan.
f.
Sistem kerja DPRD kota Padang dalam
menjaring aspirasi masyarakat dan menanggapi kebutuhan pembangunan bagi
masyarakat perlu mengalami perubahan. Pertama,
DPRD kota Padang perlu membuat
dokumentasi tentang aspirasi dan masukan yang disampaikan masyarakat. Kedua, DPRD kota Padang perlu membuat
laporan tertulis tentang hasil kunjungan kerja dan disampaikan kepada instansi
yang relevan untuk ditindaklanjuti.
g.
Pendelegasian wewenang kepada kelurahan
dan kecamatan dalam pemungutan beberapa komponen pajak dan retribusi daerah
perlu ditingkatkan dan didukung dengan penyediaan sarana dan sumber daya
manusia yang memadai.
h.
Dalam rangka mendorong pengembangan
ekonomi lokal, maka identifikasi potensi sumber daya lokal, stakeholders
yang terkait, serta pembentukan tim task for perlu dilakukan.
i.
Supaya hasil kajian ini tidak hanya
menjadi dokumen saja, maka sebaiknya dilakukan pelatihan dan pendampingan dalam
rangka meningkatkan kapasitas aparatur (capacity building).
DAFTAR BACAAN
Alm,
James and Roy Bahl (1999), Decentralization in Indonesia:
Prospeccts and Problem, Department of Economics, Then
School of Policy Studies, Georgia State University.
Alm,
James, Robert H. Aten, Roy Bahl (2001), “Can Indonesia Decentralise
Successfully?: Plans, Problem and Prospect”, Bulletin of Indonesian
Economics Studies, 37(1):83-102.
Bahl,
Roy (2000), Implementation Rules for Fiscal
Decentralization, Fiscal Decentralization Trainimg Program, Fiscal
Decentralization in Developing and Transition Economies, Worl Bank Institute, Georgia State
University, Atlanta,
Georgia, USA.
Davey,
Kenneth (1988), Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-Praktek Internasional
dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga, terjemahan Amanullah, dkk, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Mc
Lure Jr, Charle E (1995), “Comment on The Dangers of Decentralization”, Research
Observer, 10(2):221-26.
Prud’homme,
R’emy (1995), “The Dangers of Decentralization” Research Observer,
10(2):201-20.
Ray,
David (2002), Perda Bermasalah dan Review Regulasi, paper presented at
Workshop on Fiscal Policy for Regional Development on Decentralization Era, Medan, 14-16 May.
Ray,
David and Gary Goodpaster (2001), Policies and Institutions tu Ensure Free
Trade Under Decentralization, paper presented at the PEG/ SAID One Day
Conference on ‘Domestic Trade, Decentralization and Globalization’, Borobudur
Hotel, April 3nd 2001.
Robert
A Simanjuntak, Berbagai Isu Daerah di Era Desentralisasi, Merchantile
Athtletic Club-World
Trade Center, Jakarta, Mei 7th 2003.
Rondinelli,
Dennis et.al.(2000), Decentralization: What and Why ?, Fiscal
Decentralization Training Program, Fiscal Decentralization in Developing and
Transition Economies, World Bank Institute, Georgia State University, Atlanta,
Georgia, USA.
Syahruddin
dan Werry Darta Taifur (2002), Peranan DPRD Untuk Mencapai Tujuan
Desentralisasi dan Perspektif Daerah Tentang Pelaksanaan Desentralisasi: Kasus
Propinsi Sumatera Barat, IRIS dan Pusat Studi Kependudukan Universitas
Andalas (laporan Penelitian).
Syahruddin
(2003), Konsep Anggaran Kinerja di Indonesia, Pusat Studi Kependudukan
Universitas Andalas, Indonesia.
Todd,
Douglas (2001), Benefit of Free Internal Trade : Lessons from the UE
International Market Program, paper presented at the PEG/ SAID One Day Conference
on ‘Domestic Trade, Decentralization and Globalization’, Borobudur Hotel, April 3nd 2001.
World
Bank (1999), Decentralization: Rethinking Government, Chapter 5.
World
Bank (2000), World Development Report 2000/ 2001: Attacking Poverty, New York: Oxford
University Press.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun
2001 Tentang Retribusi Daerah.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun
2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Repbulik Indonesia Nomor 18 Tahun
1997
[2] Paling tidak terdapat 5 fungsi anggaran
daerah (Badan Diklat Departemen Dalam Negeri, 2003): (a) Alat penentu
pendapatan dan belanja, (b) alat kebijakan dan perencanaan, (c) anggaran
sebagai alat manajemen pelaksana, (d)
sebagai alat pengendalian dan pengawasan, dan (e) sebagai alat
pertanggungjawaban (akuntabilitas).
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut