Laman

Sabtu, 16 Maret 2013

Langkah Mundur Yudhoyono

Oleh :
Yopi Eka Anroni
(Mahasiswa Pascasarjana Univ.trisakti)

Prediksi lembaga survei tentang menurun drastisnya popularitas dan elektabilitas Partai Demokrat dianggap sebagai dampak langsung dari terjeratnya sejumlah pimpinan partai ini dalam kubangan korupsi. Disebut-sebutnya keterlibatan Ketua Umum Anas Urbaningrum dalam kasus koruspsi proyek Hambalang misalnya, diduga kuat menyebabkan partainya makin terpuruk.

Karena kasus-kasus korupsi yang menjeratnya, kader-kader Partai Demokrat baik di pusat maupun di daerah mengalami proses demoralisasi. Karena itulah, banyak di antara tokoh-tokohnya, terutama dari kalangan para pendiri, menginginkan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil alih tampuk pimpinan Partai Demokrat. Tujuannya untuk mengembalikan kepercayaan publik, untuk mengembalikan integritas dan marwah partai yang sudah tercabik-cabik.
Dan, Presiden Yudhoyono pun menjawab keinginan itu dengan mengambil alih komando kepemimpinan Partai Demokrat namun dengan tanpa menggusur secara formal ketua umumnya. Anas Urbaningrum tetap sebagai Ketua Umum namun tongkat komando ada di tangan Yudhoyono.

Langkah presiden kontan mendapat reaksi beragam di tengah-tengah masyarakat. Umumnya para pengamat menganggap langkah presiden sebagai blunder politik yang tak seharusnya dilakukan. Karena dengan langkah itu, presiden telah menggadaikan loyalitas dan kenegarawanannya hanya semata-mata untuk kepentingan partai politik.

Padahal loyalitas presiden harus sepenuhnya pada rakyat, pada bangsa dan negara, bukan pada partai politik atau kelompok kepentingan apa pun yang tidak bisa wewakili seluruh kepentingan rakyat di negeri ini. Dan loyalitas seperti ini seyogianya harus tetap dipertahankan walaupun langit akan runtuh.

Pada saat Presiden Yudhoyono mengambil alih kendali dan kepemimpinan Partai Demokrat berarti ia telah menempuh langkah mundur. Presiden telah mengurangi tugas-tugas kenegaraan untuk menjalankan tugas-tugas kepartaian. Presiden telah mengurangi waktunya untuk kepentingan negara lantaran harus (kembali) disibukkan oleh urusan partai.

Padahal di saat bangsa kita menghadapi banyak masalah, presiden dituntut bekerja 24 jam untuk mencari jalan keluar dan memberi arahan kepada seluruh jajaran eksekutif agar juga bekerja 24 jam untuk kepentingan rakyat. Namun dengan kembali mencurahkan perhatian kepada partai politik, presiden akan kehilangan legitimasi untuk memberikan arahan karena presiden sendiri (terbukti) tak mentaatinya.

Loyalitas kepada partai harus diakhiri pada saat loyalitas kepada negara dimulai. Dan bukti untuk mengakhiri loyalitas kepartaian itu antara lain dengan mengakhiri jabatan kepartaian. Yang terjadi pada Presiden Yudhoyono malah sebaliknya. Lebih mendahulukan kepentingan partai dari kepentingan negara, lebih mengutamakan waktu untuk partainya daripada untuk kepentingan rakyatnya.

Yang memilih presiden adalah segenap rakyat, karenanya presiden (juga wakil presiden) harus benar-benar menjadi pemimpin seluruh rakyat, bukan menjadi pemimpin partai. Oleh karena itu, seyogianya presiden menanggalkan jabatan kepartaian yang melekat pada dirinya. Penanggalan jabatan kepartaian merupakan bukti dari tingkat loyalitas yang bersangkutan.

Pada saat jabatan kepartaian ditanggalkan, tidak ada lagi klaim-klaim secara sepihak oleh partai politik manakala presiden berhasil membawa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebaliknya tidak ada pula partai politik yang merasa gagal dan malu pada saat presiden yang diusungnya gagal menjalankan tugas. Keberhasilan presiden adalah keberhasilan seluruh komponen yang bekerja untuk kepentingan rakyat. Begitu pun kegagalannya.

Tapi dengan langkah mundur yang telah ditempuh Yudhoyono, kegagalan yang dialaminya akan menjadi catatan buruk dalam sejarah Partai Demokrat. Dan turunnya popularitas dan elektabilitas partai ini pun bisa jadi penyebab utamanya karena Yudhoyono gagal menampilkan dirinya sebagai pemimpin bagi segenap rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar