Laman

Sabtu, 16 Maret 2013

Strategi “Menjual” Partai Politik

Strategi “Menjual” Partai Politik  
oleh :
Yopi Eka Anroni
(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Trisakti)

Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU)  menetapkan jumlah partai politik berikut nomor-nomornya secara resmi yang akan melekat pada partai-partai itu saat mengikuti proses Pemilihan Umum (Pemilu) maka masa kampanye (secara tidak resmi) sudah dimulai.

Banyak cara yang ditempuh partai-partai dalam mengampanyekan dirinya, dengan menggunakan berbagai media. Ada yang rajin mengucapkan selamat pada hari-hari besar, dengan memasang spanduk-spanduk di tengah-tengah dan tepian jalan. Atau dengan menayangkan iklan layanan masyarakat (public service ad/PSA) di media-media cetak dan elektronik. Di luar jadwal kampanye, PSA paling banyak ditempuh karena dianggap aman, dan dari segi informasi isinya memang bermanfaat bagi  masyarakat. 

Dalam tayangan PSA biasanya tidak secara langsung mengampanyekan visi, misi, atau program partai, tapi lebih mengedepankan informasi (pemberitahukan) kepada publik bahwa partai yang bersangkutan cukup peduli dengan isu-siu kemasyarakatan sebagaimana yang diiklankan seperti isu penghijauan, menjaga kelestarian alam dan lingkungan, serta isu-isu yang berkaitan dengan pendidikan dan kesehatan. Iklan-iklan partai sebelum masuk jadwal kampanye, lebih mirip dengan iklan-iklan rokok.

Di samping PSA, cara lain yang banyak ditempuh partai-partai adalah dengan lebih banyak mensosialisasikan tokoh yang sudah atau hendak diusung menjadi calon presiden. Cara ini dianggap paling realistis, sebagai respon atas kecenderungan personalisasi politik.

Semenjak presiden dipilih langsung oleh rakyat, disusul pemilihan langsung kepala daerah, lalu penerapan sistem suara terbanyak dalam menentukan siapa yang terpilih dalam pemilu legislatif, gejala personalisasi politik semakin menguat.

Karena faktor nama besar individu jauh lebih kuat dan lebih menentukan ketimbang partainya, maka suara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pemilihan presiden jauh lebih tinggi ketimbang suara Partai Demokrat –dalam pemilu legislatif-- yang mengusungnya. Meskipun jauh lebih kecil, suara yang diperoleh itu pun terutama (terkatrol) karena nama besar SBY.

Bercermin dari kasus SBY itulah, dalam iklan, beberapa partai lebih menonjolkan capres yang akan diusungnya ketimbang partai itu sendiri. Harapannya, pada saat capresnya sudah populer dan laris-manis, suara partai akan terkatrol dengan sendirinya. Karena itu pula, ada dugaan kuat, partai-partai yang mengusung nama Joko Widodo (Jokowi) saat Pemilukada DKI Jakarta lalu misalnya, akan ikut terangkat suaranya bersamaan dengan semakin menaiknya popularitas Jokowi.

Lantas timbul pertanyaan. Bagaimana jika capres, atau tokoh yang disosialisasikan dalam iklan, ternyata sulit dijual, misalnya karena sisi buruknya dimata publik jauh lebih berat dari sisi baiknya?

Di sinilah menurut saya, seyogianya (juru kampanye dan para konsultan) lebih cermat dalam menjalankan strategi menjual partai politik. Jika tokoh yang dijual tidak populer, apalagi jika kredibilitasnya buruk di mata publik, apabila terus dipaksakan, yang terjadi bukannya mengatrol suara partai malah sebaliknya. Bukan tidak mungkin, banyak pemilih yang apriori dengan suatu partai politik lantaran tidak suka dengan capres yang diusungnya.

Apakah capres yang diusung bisa dijadikan media untuk mengangkat popularitas partai yang mengusung? Jawabannya iya, untuk capres yang popularitas dan elektabilitasnya bagus. Tapi jika capres yang diusung tidak populer, atau bahkan di internal partainya sendiri masih menjadi perdebatan karena kurang disukai, ketika “dijual” tidak akan berpengaruh bagi penambahan suara partainya, malah sangat mungkin bisa menurunkan suara partainya.

Untuk itu, partai-partai yang saat ini mengusung capres yang tidak popular. Atau partai-partai yang sudah berusaha keras “menjual” capresnya, namun tak kunjung populer, ada baiknya segera mengubah strategi dalam berkampanye, dengan cara menjual program-program yang konstruktif dan jelas manfaatnya bagi segenap rakyat.

Jika menjual program dirasa masih kurang efektif juga (karena program-program partai dianggap relatif sama saja), cara lain yang bisa ditempuh adalah dengan merekrut calon-calon anggota legislatif (caleg) yang bagus, mumpuni, dan berkarakter. Meskipun mungkin belum populer, caleg-caleg yang bekualitas bisa lebih efektif untuk mengangkat popularitas partai ketimbang (dengan memaksakan) menjual capres yang tidak populer karena kualitasnya dianggap buruk  oleh publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar