Laman

Sabtu, 16 Maret 2013

Mencermati Etika Kolegial Partai Politik

Oleh :
Yopi Eka Anroni
(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Trisakti)
“Sesama bus kota dilarang saling mendahului”, ungkapan lama yang saat ini sudah tidak lagi diindahkan karena semua bus kota sudah terbiasa balapan, bahkan saling serobot. Tapi, dalam kehidupan sosial yang lebih luas, justru ungkapan ini kerap dipakai menjadi semacam “etika kolegial” agar sesama teman, atau sesama keluarga tidak saling “memakan”.

Ungkapan yang sama, saya kira, menjadi standar etika yang berlaku di lingkaran kehidupan partai politik, terutama yang memiliki anggota legislatif di parlemen. Karena etika kolegial inilah, diduga kuat, menjadi faktor perekat sesama partai politik “lama” (yang duduk di parlemen)  sehingga semuanya dinyatakan lolos verifikasi baik administratif maupun faktual.
Jika bukan karena faktor “etika kolegial” bukan tidak mungkin ada beberapa partai lama yang gugur karena untuk memenuhi persyaratan Pemilu baik secara administratif maupun faktual bukan perkara mudah. Kita tak bisa membayangkan misalnya ada partai Islam yang mampu menghadirkan 1000 anggota (yang dibuktikan dengan penerbitan kartu anggota) per-Kabupaten/Kota di sebagian Provinsi Papua atau Papua Barat. Nyatanya, menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), semua partai yang ada di parlemen lolos sesmua.

Partai-partai memiliki ikatan kolegial karena nasib mereka tak jauh berbeda. Secara ideologis relative sama. Dan jangan lupa, semuanya memiliki (oknum) kader yang korup. Mereka juga memiliki masalah keuangan yang sama-sama rumit karena iuran anggota tidak berjalan. Sementara untuk mencari bantuan sumbernya sangat terbatas, dan untuk bermain-main dengan anggaran risikonya bisa masuk penjara.

Tapi, sekuat apa pun ikatan kolegialitas di antara partai-partai untuk menutupi aib satu sama lain, jika ada yang korupsi tetap terendus juga. Karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) punya banyak cara, dan punya banyak mata-mata, untuk menjerat siapa pun yang diduga menilep uang negara.

Bagi partai politik (yang diwakili anggota DPR RI), melahirkan KPK ibarat melahirkan anak macam. Setelah tumbuh taring dan kuku-kukunya, sang macan sudah siap menerkam. Dan sudah banyak anggota DPR RI atau DPRD yang sudah diterkamnya. Karena fakta (menyedihkan) inilah kita bisa memahami mengapa di antara anggota DPR RI tak sedikit yang getol sekali mengampanyekan pembubaran KPK.

Menurut saya, memiliki etika kolegial di antara partai-partai sah-sah saja, karena (antara lain) berguna untuk menggalang persatuan pada saat menghadapi musuh bersama. Untuk mengegolkan undang-undang yang dianggap penting untuk kebutuhan bersama, etika kolegial bisa digunakan sehingga di antara partai-partai bisa mengambil kesepakatan dengan semangat kebersamaan.

Ibarat pisau bermata dua, sayangnya, etika kolegial lebih sering diimplementasikan secara negatif, misalnya untuk saling menutupi kesalahan, atau bahkan untuk saling menyandra satu sama lain. Politik saling menutupi dan saling menyandra ini tampaknya sudah jamak di kalangan aktivis partai politik sehingga cintra buruk yang ditimbulkannya sudah sedemikian terpatri di mata publik.

Semakin maraknya kasus korupsi yang dilakukan anggota partai politik, terutama yang duduk di kursi DPR RI atau DPRD pada dasarnya merupakan salah satu akibat buruk dari adanya etika kolegial sesama (anggota) partai politik yang diimplementasikan secara negatif.

Etika kolegial seyogianya dikembangkan untuk kepentingan yang konstruktif, misalnya, untuk saling mengingatkan dan saling mengontrol agar masing-masing anggota partai politik tidak melakukan tindakan-tindakan yang konyol, atau yang bertentangan dan bisa meruntuhkan kehormatan dirinya.

Karena dalam praktik lebih banyak membawa mudarat, ada baiknya publik menyorot secara khusus praktik-praktik kotor yang terbungkus di balik etika kolegial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar